JAKARTA – Fleksibilitas dalam pemilihan mekanisme kontrak hulu migas di Indonesia dinilai sudah tepat dan menjadi langkah maju bagi upaya untuk mendorong investasi hulu migas.
Nikita Golubchenko, ekonom senior perminyakan Wood Mackenzie, mengungkapkan skema bagi hasil gross split lebih cocok diterapkan di blok migas yang sudah berproduksi atau habis masa kontraknya. Kondisi harga minyak yang lebih tinggi, dorongan untuk melakukan efisiensi biaya yang signifikan, dan penyederhanaan birokrasi memang diperlukan bagi blok-blok yang akan habis masa kontraknya.
Menurut Nikita, blok yang akan habis masa kontraknya memiliki risiko proyek lebih rendah dibanding blok eksplorasi, investor dapat menegosiasikan bagi hasil tambahan yang diperlukan untuk mencapai keekonomian.
“Kami telah melihatnya saat proses perpanjangan kontrak seperti Duyung dan East Sepinggan hasilnya,” kata Golubchenko, dalam keterangan pers yang diterima Dunia Energi, Kamis (17/9).
Pemerintah Indonesia memperkenalkan skema gross split pada 2017 untuk memangkas birokrasi dan meningkatkan efisiensi di industri hulu. Tujuannya untuk meningkatkan investasi dan meningkatkan produksi minyak dan gas. Sejak saat itu sudah ada 22 blok migas dari hasil lelang migas diberikan pada 2018, dengan komitmen investasi US$ 1,2 miliar, dan merupakan yang tertinggi dalam satu dekade terakhir.
Menurut Golubchenko, ada satu poin yang justru mendegradasi popularitas gross split, yakni adanya ketentuan deskresi menteri untuk memberikan split tambahan ke kontraktor. Meskipun berbagai variabel split tambahan tersedia, investor kata dia tidak melihat keuntungan yang cukup pada skema gross split untuk mengimbangi peningkatan risiko proyek.
Indonesia menempati peringkat 134 dari 145 rezim fiskal yang tercatat pada Wood McKenzie competitiveness index, karena dayatarik syarat-syarat kebijakan gross split atau turun dari peringkat sebelumnya di posisi 125 saat masih menawarkan skema cost recovery
Golubchenko menuturkan bahwa Indonesia saat ini menawarkan berbagai peluang berbeda. Untuk memaksimalkan peluang ini membutuhkan pendekatan fiskal yang fleksibel. “Untuk menyesuaikan Insentif investor dengan resiko yang masih ada,” kata dia.
Selain kebijakan fiskal yang menarik, faktor-faktor lain pendukung agar iklim investasi kembali menarik adalah kebijakan gas , birokrasi yang tidak berbelit, dan proses persetujuan rencana pengembangan yang lebih fleksibel dan efisien juga dianggap sebagai insentif bagi sektor hulu Indonesia.
Wood Mackenzie juga mencatat bahwa harga gas domestik yang dipatok, serta berbagai perizinan dari pemerintah daerah dalam proyek-proyek tersebut menjadi salah satu disinsentif dan berpotensi jadi penghalang bagi investor internasional untuk masuk ke Indonesia.
Lionel Sumner, Analis Wood Mackenzie, mengatakan salah satu manfaat dari skema cost recovery yang terlebih dulu diterapkan di Indonesia adalah tersedianya insentif untuk pengembangan di wilayah frontier atau pelosok.
“Ini penting karena dapat mendorong eksplorasi untuk mengurangi penurunan produksi di Indonesia,” kata dia.(RI)
Komentar Terbaru