JAKARTA – Terdakwa kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah mengaku sedih atas vonis Majelis Hakim yang dijatuhkan kepadanya. Selain mencoreng nama baiknya dan keluarga, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu akan menjadi preseden buruk peradilan Indonesia, dimana vonis hakim mengabaikan hampir seluruh fakta persidangan.
Seperti diututurkan Bachtiar usai mendengarkan vonis atas dirinya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 17 Oktober 2013, terlihat selama persidangan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) selalu menyerang pada kualifikasi kontraktor, izin bioremediasi dan pengadaan barang. “Padahal kontrak 7861 OK sudah berjalan sejak tahun 2006 dan pada saat itu saya tidak di Indonesia,” ujarnya.
Selama persidangan, baik terdakwa maupun saksi-saksi yang dihadirkan sudah menekankan, bahwa bioremediasi adalah tanggung jawab perusahaan dan bukan perorangan. Namun tetap saja dalam putusannya, Majelis Hakim membebankan tanggung jawab proyek lingkungan itu pada diri Bachtiar secara pribadi.
“Saya merasa sedih akan nasib putra-putri bangsa, yang mungkin akan jadi seperti saya bila hukum di Indonesia seperti ini,” ungkap Bachtiar. “Kalau memang seseorang benar melakukan korupsi ya tidak apa-apa dihukum, tetapi saya dan 7.000 karyawan PT CPI yakin bahwa kami anti korupsi!,” serunya disambut teriakan serempak “Anti Korupsi!” karyawan CPI yang hadir menyaksikan persidangan.
Bachtiar pun mengaku khawatir, dampak vonis Majelis Hakim itu pada diri dan kelurganya. Bukan tidak mungkin citra sebagai koruptor itu akan terus melekat hingga beberapa dekade ke depan. Namun dia mengaku tidak putus asa untuk memperjuangkan keadilan. Terlebih para pimpinan PT CPI mendorongnya untuk tidak takut terus memperjuangkan kebenaran.
“Semua cara akan kami ditempuh, karena kami benar. Dan saat ini kami sedang ditantang untuk membuktikan bahwa kami benar,” tandas Bachtiar.
Bapak empat anak ini pun mengaku bersyukur masih ada Hakim Anggota yang bernurani, sehingga berani menyampaikan dissenting opinion (pendapat berbeda) meski kalah suara dari dua hakim lainnya. Dissenting Opinion Hakim Anggota Slamet Subagyo itu membuatnya makin tegar dan kuat. “Saya yakin bahwa saya benar, untuk itu kita harus tetap istiqomah,” tegasnya.
Bachtiar juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, keluarga, serta media yang selalu mendukungnya menghadapi proses peradilan yang penuh kejanggalan tersebut. “Perjuangan ini bukan hanya untuk Bachtiar, tetapi ini juga untuk Kukuh, Rumbi, Widodo dan para kontraktor,” ucapnya.
Peradilan Melanggar Hukum
Pada kesempatan itu, Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan juga mengaku sangat kecewa, karena putusan majelis hakim mengabaikan bukti-bukti faktual yang terungkap dalam persidangan. Dokumen-dokumen yang tersertifikasi serta pendapat para ahli yang berwenang dan sangat kredibel, juga dikesampingkan.
“Putusan hari ini hanya mengandalkan pendapat ahli dari Kejaksaan Agung, yang selama persidangan telah terungkap memiliki konflik kepentingan. Dalam dissenting opinion Hakim Slamet Subagyo, semua pendapat ahli Kejaksaan Agung tersebut sudah dibantah. PT CPI tidak akan pernah berhenti mendukung upaya Bachtiar untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah,” ujar Dony.
Ia menambahkan, selama persidangan tidak ada bukti penyalahgunaan wewenang dan bukti-bukti korupsi seperti didakwakan jaksa. Bahkan hingga saat ini, tidak ada bukti surat Mahkamah Agung yang menganulir putusa pra-peradilan yang telah membebaskan Bachtiar dari semua tuntutan dan statusnya sebagai tersangka.
“Mengadili dan menahan Bachtiar tanpa putusan hukum dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan praperadilannya, justru melanggar hukum,” tukasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Berita terkait:
Membebek Keterangan Edison Effendi, Hakim Bioremediasi Vonis Bachtiar 2 Tahun Penjara : https://www.dunia-energi.com/membebek-keterangan-edison-effendi-hakim-bioremediasi-vonis-bachtiar-2-tahun-penjara/#comment-1947
Memvonis terdakwa karena menandatangani bridging kontrak dalam menlanjutkan kontrak-kontrak sebelumnya yang tidak jelas ujung pangkalnya adalah justru agar semua contract services dilaksanakan berdasarkan Perpres Pengadaan barang dan jasa yang berlaku di Indonesia. Putusan Pengadilan TIPIKOR tersebut justru untuk menghentikan dan mencegah terjadinya Jurisprudence (precedence) sehingga perbuatan melawan hukum yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak berlanjut. Dan kalau sudah begini yang mau disalahkan adalah PT. Chevron Pacific Indonesia, karena tidak menghindari tanggung jawab. Maka itu, janganlah mau dijadikan “kambing conge” (scapegoat) oleh President Director PT. Chevron Pacific Indonesia melalui sistim pendelegasian kewenangan (Delegation of Authority). Kedudukkan dan pangkat mau, tetapi tanggung jawabnya tidak, seperti kebiasaan orang Indonesia, yang jelas-jelas kentut (farting), tetapi berdalih dengan mengatakan: “Not me, not me”. Kapan kita bisa dewasa, kalau selalu berusaha “cuci tangan”.