JAKARTA – Kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) telah memunculkan lebih dari 63 trader (pengusaha yang bergerak di bidang jual-beli, red) gas di berbagai kawasan industri di Tanah Air, yang mencerminkan liberalisasi dan ditengarai telah merusak tata niaga sumber energi strategis itu.
Seperti dituturkan VP Corporate Communication PT PGN (Persero) Tbk, Ridha Ababil, UU 22/2001 dan turunannya, telah menyebabkan munculnya lebih dari 63 trader gas yang umumnya hanya mengandalkan bisnis niaga, tanpa dukungan fasilitas atau infrastruktur distribusi gas.
Celakanya, para trader gas itu juga berjualan di wilayah pasar eksisting. Hal ini menyebabkan terhambatnya pengembangan infrastruktur ke wilayah baru, dan rusaknya tata niaga gas. Yakni tidak terjadinya perluasan pasar gas ke wilayah baru, dan di sisi lain terjadi kelebihan pasokan (over supply) pada wilayah eksisting seperti yang telah terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat dan Batam.
“Hal inilah yang menyebabkan tingginya tingkat persaingan usaha di wilayah tersebut, dan cenderung mengarah pada praktek persaingan usaha tidak sehat, antara lain dengan adanya hambatan terhadap pelaksanaan pekerjaan proyek (crossing) serta tuntutan pelaksanaan Open Access,” kata Ridha di Jakarta, Rabu, 13 November 2013.
Sebagai satu-satunya BUMN Gas di Indonesia, lanjut Ridha, PGN sendiri telah berkomitmen mematuhi amanat untuk segera mempercepat dan memperluas pembangunan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi gas, sebagaimana disampaikan oleh Presiden pada pidato Pelaksanaan Penghematan Energi Nasional di Istana Negara, Selasa, 29 Mei 2012 silam.
“Hal ini penting bagi pelaksanaan konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas untuk sektor transportasi, pembangkit listrik, industri, serta rumahtangga,” ujarnya. PGN juga berhasil mengembangkan infrastruktur pipa hilir gas sepanjang 6.000 km, yang menjangkau semua lapisan masyarakat mulai sektor transportasi, pembangkit listrik, industri, serta rumahtangga.
Terkait dengan pelaksanaan Open Access pada pipa hilir gas, menurut Ridha PGN telah melaksanakannya pada 1998 terhadap ruas pipa Grissik – Duri, dimana PGN bertindak sebagai Transporter dan Conoco-Phillips bertindak sebagai Shipper.
“Open access juga telah dilakukan pada ruas pipa Grissik – Batam – Singapura, dimana Conoco Phillips dan Petrochina menjadi Shipper, dan mereka menjual gas langsung ke pelanggan di Singapura. Unbundling terhadap pipa tersebut telah dilakukan pada tahun 2003 dengan lahirnya TGI,” terang Ridha.
Namun demikian, ujarnya, sejak munculnya trader gas niaga tanpa fasilitas, dimana terjadi perpanjangan rantai bisnis dari gas yang berasal dari JOB Pertamina – Jambi Merang, dan menjual ke pasar eksisting di Batam, PGN berkewajiban untuk menyampaikan pesan penting kepada semua pihak terkait bahwa skema Open Access dan Unbundling sangat berdampak terhadap progres percepatan pengembangan infrastruktur gas ke wilayah baru yang masih menggunakan BBM.
Karena dengan adanya Open Access dan Unbundling maka para pelaku bisnis gas hanya akan berbisnis di wilayah pasar eksisting. Hal tersebut karena para pelaku bisnis cenderung hanya akan menjadi Trader/Broker ketimbang mengembangkan infrastruktur.
Untuk itu, lanjutnya, skema liberalisasi bisnis gas dalam bentuk Open Access dan Unbundling sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2009, kiranya serupa dengan liberalisasi bisnis listrik sesuai dengan UU No. 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Bahwa liberalisasi gas dan listrik akan mengancam pemerataan pembangunan infrastruktur energi,” tegasnya.
(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru