DESA mandiri energi bukanlah cerita dongeng. Desa ini nyata adanya terletak di lereng Merapi, tepatnya Desa Urutsewu, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Masyarakat yang hidup di sana sudah tidak lagi bergantung pada bahan bakar fosil untuk keperluan memasak, bahkan tidak seperti masyarakat pada umumnya sebagian listrik warga di Urutsewu dipasok bukan dari jaringan listrik PLN melainkan dipenuhi dari limbah yang ada di desa tersebut.
Terlihat pipa panjang yang berisikan biogas melintang di sejumlah rumah di desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Semarang di sebelah utara dan timur tersebut. Biogas tersebut berasal dari limbah ternak ayam, sapi, hingga limbah pabrik tahu.
“Awalnya justru dari keprihatinan kami akan limbah tahu yang banyak terdapat di desa ini. Saya minta inisiatif yang punya pabrik tahu untuk mengolah limbah ini dan akhirnya biogas menjadi pilihan karena hasilnya bisa dimanfaatkan untuk memasak, juga bisa dikonversi untuk penerangan,” kata Sri Haryanto, Kepala Desa Urutsewu belum lama ini.
Salah satu pemilik pabrik tahu, Suwarno (42), yang juga ketua RT 5 Dusun Gilingan, Urutsewu, berinisiatif membangun digester biogas untuk mengubah 5.000 liter limbah pabrik tahu dalam sehari menjadi biogas. “Kini bisa mengalirkan gas bagi tujuh rumah di sekitar sini, juga untuk menyalakan genset darurat dan pengadaan air bersih Pamsimas bagi 60 pelanggan. Bahkan sampai ke tetangga desa,” ungkap Suwarno.
Mengetahui pemanfaatan gas yang dihasilkan dari limbah tahu bisa mengurangi pengeluaran untuk LPG hingga air bersih, warga desa lainnya berinisiatif memanfaatkan potensi limbah yang ada untuk kebutuhan harian mereka. Salah satunya Rizki Emil Abdilah (23), peternak ayam di desa tersebut yang menghasilkan energi biogas dari kotoran sekitar 2.000 ayam miliknya.
“Biogas yang dihasilkan dipakai untuk menyalakan mesin penggiling jagung, serta kompor di rumah. Kalau untuk nyelep (menggiling), dua hari sebelumnya digester biogasnya dipenuhi dulu,” ungkap Emil.
Menurut Emil, tidak mudah mengubah mesin penggiling jagungnya yang semula berbahan bakar bensin menjadi tenaga biogas. Tapi hasilnya sepadan. Ia melakukan modifikasi mesin. Setelah beberapa kali uji coba, modifikasi tersebut membuahkan hasil karena sampai sekarang, mesin penggilng jagungnya beroperasi dengan normal dan membuatnya hemat berkali-kali lipat.
“Kalau pakai bensin Rp20 ribu untuk nyelep 400 kilogram. Kalau biogas, ya enggak usah mikir bensin lagi. Bisa ngirit Rp20 ribu,” bebernya.
Tak hanya itu, beberapa warga kini telah menggunakan digester biogas portable sederhana di dapur mereka untuk menyalakan kompor. Saparman (40), yang rumahnya beberapa bulan terakhir sudah menggunakan biogas dari dana desa mengaku merakit sendiri digester portable gas bersama beberapa tetangga. Hasilnya kini mereka tidak perlu lagi repot menggunakan LPG yang kalau habis harus cari-cari di warung.
“Saya rakit sendiri bersama tetangga. Biayanya sekitar dua jutaan, sampah sayur dan buah tinggal saya masukkan. Hemat sekarang, enggak perlu mikir beli LPG,” kata Suparman.(Rio Indrawan)
Berita ini sangat membanggakan. Bila saja Kementerin Pertanian dan Kementerian ESDM melihat potensi gopaktan yang jumlahnya ada sekitar 63.300 gapoktan diseluruh Indonesia, setidaknya akan ada kemandirian energi di desa-desa untuk sekitar 600.000 rumah penduduk yang tidak lagi mengkonsumsi listrik PLN dan LPG. Kita bisa hitung bersama berapa nilai pengurangan impor LPG karena kemandirian energi gapoktan ini.
[…] Dunia-energi.com | Kompas.com | Media Indonesia | Mongabay | PJB […]
[…] Dunia-energi.com | Kompas.com | Media Indonesia | Mongabay | PJB […]