JAKARTA – PT Pertamina EP Cepu, anak usaha PT Pertamina (Persero) mengklaim sukses merubah desain dari fasilitas pengolahan produksi gas lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB). Perubahan desain tersebut akan berdampak pada peningkatan produksi lapangan Jambaran Tiung dari target awal.
Jamsaton Nababan, Direktur Utama Pertamina Cepu, mengungkapkan kenaikan produksi sebagai dampak perubahan produksi cukup signifikan, yakni mencapai 20 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).
“Kita ada optimasi desain, produksi malah naik menjadi 192 MMSCFD. Tadinya kan 172 MMSCFD,” kata Jamsaton saat ditemui di kantor SKK Migas Jakarta, Jumat (9/11).
Menurut Jamsaton, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) langsung menyambut baik perubahan desain fasilitas pengolahan dan peningkatan produksi ini lantaran tanpa ada kenaikan biaya produksi yang artinya tidak ada kenaikan cost recovery. “SKK Migas senang sekali, tanpa kenaikan cost,” tukasnya.
Proyek Jambaran Tiung Biru merupakan proyek salah satu prestisius Pertamina yang masuk dalam proyek strategis nasional dengan kapasitas produksi mencapai 330 MMSCFD.
Produksi gas Jambaran Tiung Biru melalui enam sumur akan diolah melalui gas production facilities (GPF). Dalam rencana awal dari rata-rata produksi sebesar 315 MMSCFD–330 MMSCFD, GPF memisahkan kandungan CO2 dan H2S, sehingga menghasilkan gas yang dapat dijual sebesar 172 MMSCFD. Tapi kini gas yang bisa dijual adalah sebesar 192 MMSCFD.
Untuk 100 MMSCFD sudah dipastikan akan diserap PT PLN (Persero) untuk kebutuhan pembangkit tenaga listrik gas. Sisanya akan dicarikan konsumen Pertamina.
“Nanti korporat itu yang Pertamina retail mungkin ada yang industri atau tempat lain, kami masih banyak pembeli,” ungkap Jamsaton.
Harga gas Jambaran Tiung Biru ke PLN menjadi salah satu harga gas yang rendah untuk pembangkit tenaga listrik yakni ebesar US$ 7,6 per MMBTU. Rendahnya harga gas ini tidak lepas dari penurunan alokasi belanja modal Jambaran Tiung Biru oleh Pertamina dari US$2,05 miliar menjadi US$1,55 miliar.
Menurut Jamsaton, penambahan produksi gas Jambaran Tiung Biru yang siap jual nanti tidak akan mempengaruhi umur sumur. Pasalnya tidak ada perubahan pada kondisi reservoir karena yang diubah adalah pengolahan gasnya.
Sebelum perubahan desain ada banyak gas yang terbuang dan dijadikan bahan bakar pengolahan gas. Setelah adanya optimalisasi dan perubahan desain maka ada efisiensi dalam penggunaan gas sebagai bahan bakar.
“Sumur tetap fasilitas dan desain yang kami tingkatkan. Tadinya banyak terbuang, mungkin boros makan gas fuel, kemudian bisa diefisiensikan untuk pemanas peralatan. Peralatan diganti jadi tidak perlu pemanas. Jadi hemat (gas),” papar Jamsaton.
Konstruksi Jambaran Tiung Biru sudah dimulai sejak Mei lalu. Sekarang ini dilakukan pemadatan lahan untuk persiapan pengerjaan konstruksi besar-besaran pada tahun depan.
Jamsaton menilai proyek JTB tidak memiliki kendala berarti karena baik pemerintah maupun stakeholder lain telah memiliki visi yang sama untuk bisa menyelesaikan proyek ini sesuai dengan rencana. Terlebih proyek ini merupakan proyek gas terbesar pertama kalinya di Pulau Jawa.
Jika tidak ada halangan proyek Jambaran Tiung Biru akan rampung dan gas akan mulai dialirkan pada 2021. “Tahun depan mungkin bergerak, bangun fondasi untuk peralatan alat berat. Masih on the track 2021, kuartal kedua (on stream),” tandas Jamsaton.(RI)
Komentar Terbaru