JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia dinilai telah mengabaikan berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan, dengan mengajukan tuntutan 12 dan 15 tahun penjara terhadap dua terdakwa.
Penilaian itu diungkapkan Najib Ali Gisymar, penasihat hukum Ricksy Prematuri, salah satu terdakwa dalam kasus tersebut. Menurutnya, jaksa penuntut umum telah mengabaikan semua fakta persidangan serta keterangan ahli, kecuali saksi ahli dari pihak jaksa sendiri yakni Edison Effendi.
Tuntutan itu dibacakan jaksa penuntut umum, dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Kosupsi Jakarta, pada Jumat, 26 April 2013. Terdakwa Herlan bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya, dituntut 15 tahun penjara. Sedangkan Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dituntut 12 tahun penjara. Keduanya adalah kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi.
Pada persidangan yang terpisah, kedua terdakwa duduk sendirian tanpa didampingi penasihat hukum mereka. Sebagaimana diketahui, penasehat hukum Herlan, yang diketuai oleh Hotma Sitompoel, telah melakukan aksi walk out (meninggalkan persidangan, red) pada persidangan Jumat, 19 April 2013. Sedangkan penasihat hukum Ricksy walk out pada persidangan Senin, 22 April 2013.
Penasihat hukum kedua terdakwa walk out kerena menilai majelis hakim tidak adil dalam memberikan kesempatan kepada penasehat hukum, untuk menghadirkan saksi yang meringankan dan ahli. Majelis Hakim telah memberi kesempatan jaksa untuk menghadirkan saksi selama empat bulan, sementara terdakwa hanya diberi kesempatan selama satu minggu.
Dalam persidangan Jumat, 26 April 2013, Herlan dituntut oleh jaksa penuntut umum agar dihukum dengan pidana penjara 15 tahun dikurangi masa terdakwa berada dalam tahanan sementara, disertai permintaan agar terdakwa tetap ditahan. Herlan juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan diwajibkan untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai US$ 6,9 juta.
Jaksa penuntut umum menyatakan, PT Sumigita Jaya tidak memenuhi beberapa kualifikasi untuk membantu Chevron dalam pelaksanaan kegiatan bioremediasi. Yakni PT Sumigita Jaya tidak memiliki izin pengelolaan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Begitu pula dengan Chevron yang izinnya sudah habis berlaku hingga 2008.
Sedangkan Ricksy dituntut jaksa penuntut umum agar dihukum dengan pidana penjara 12 tahun dikurangi masa tahanan sementara, dan membayar denda sebesar Rp 1 milyar, serta uang pengganti sebesar US$ 3,08 juta atau sama dengan jumlah yang dibayarkan Chevron ke PT GPI.
Peraturan Diabaikan
Najib menilai, dalam mengajukan tuntutan jaksa mengabaikan fakta bahwa jumlah tersebut dibayarkan ke perusahaan atas jasa yang sudah dilakukan, bukan individu. Dalam tuntutannya, jaksa tidak menggunakan peraturan yang berlaku sebagai dasar, melainkan hanya menggunakan keterangan saksi ahli bernama Edison Effendi.
Salah satu peraturan yang diabaikan jaksa adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128/2003 yang menyebutkan bahwa tanah tercemar dengan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) dibawah 15% harus dibersihkan. Sementara, versi Edison, tanah yang harus dibersihkan hanya yang memiliki TPH sebesar 7,5-15%.
Kepala Deputi IV KLH Masnellyarti Hilman di beberapa persidangan lalu menjelaskan bahwa izin bioremediasi dan pengelolaan limbah hanya diwajibkan bagi penghasil limbah yaitu PT CPI. Sementara itu, kontraktor pelaksana tidak perlu mengurus izin. KLH memberi persetujuan kepada PT CPI untuk terus melakukan kegiatan bioremediasi saat izin sedang diperpanjang karena pemulihan tanah tecemar minyak tidak bisa ditunda, sesuai dengan pasal 54 Undang-Undang 32 Tahun 2009.
“PT CPI juga taat dalam menjalankan kegiatan bioremediasi saat izin sedang diperpanjang. Hal ini sesuai dengan SK Menteri LH 258A tahun 2010 yang menyatakan, bahwa jika secara teknis di lapangan sudah memenuhi persyaratan, tapi secara administrasi bermasalah, maka dianggap taat,” ujar Masnellyarti.
Pejabat Tidak Dijerat
Najib juga menuturkan, tuntutan jaksa itu menunjukkan sistem hukum yang tidak adil. Jaksa menuntut kliennya dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi walaupun tidak ada unsur pejabat negara yang terlibat, baik dari SKK Migas ataupun Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Kalau dikatakan kontrak antara Chevron dengan kontraktor bioremediasi bermasalah lalu di-cost recovery-kan, maka yang memberi approval (persetujuan, red) terhadap work program and budgeting (WP&B), yaitu SKK Migas atau dulu BP Migas, harus dijadikan tersangka,” kata Najib.
Kedua, lanjutnya, kalau yang dibidik dan dicari celah adalah perizinan, faktanya Chevron telah mengajukan perpanjangan izin. Perpanjangan memang belum keluar, namun ada Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur bahwa kalau dalam 45 hari izin belum keluar, maka dianggap izin itu sudah terbit. “Kalau izin ini dianggap bermasalah, seharusnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dijadikan tersangka,” tandas Najib.
Dalam persidangan sebelumnya, Deputi Umum BP Migas Johannes Widjonarko menyatakan bahwa WP&B PT CPI telah dibahas bersama dan disetujui BP Migas.
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, menilai bahwa tuntutan jaksa terhadap para terdakwa kontraktor adalah telah mengabaikan sepenuhnya fakta-fakta selama persidangan bahwa tidak ada bukti yang sah yang diajukan oleh jaksa mengenai kerugian negara yang menjadi dasar tuduhan korupsi terhadap masing-masing individu dan tidak ada bukti adanya tindakan pidana dari para terdakwa ini yang menjadi dasar penyidikan untuk menuntut mereka.”
“Saksi-saksi dalam persidangan dari pemerintah, SKK Migas dan KLH, telah menjelaskan bahwa program bioremediasi telah sesuai dengan perundangan yang berlaku dan kebijakan pemerintah. Pengadilan pun telah mendengar dari ahli independen bahwa program bioremediasi telah berhasil membersihkan tanah lebih dari setengah juta meter kubik. Oleh karena itu sangat jelas bahwa kasus ini seharusnya tidak ada,” pungkas Dony.
Dunia Energi