JAKARTA – Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) 2024, lifting minyak bumi hanya mencapai 605,5 ribu barel per hari (mbopd), jauh di bawah target APBN sebesar 660 mbopd. Sementara itu, lifting gas bumi mencatatkan peningkatan sebesar 2,2% menjadi 960 ribu barel setara minyak per hari (mboepd) pada 2023. Kondisi ini memerlukan terobosan kebijakan dan regulasi agar sektor migas tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

Menurut Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, salah satu penyebab utama tidak tercapainya target produksi adalah cadangan migas yang terus menyusut. Berdasarkan data Kementerian ESDM Februari 2024, cadangan minyak hanya tersisa 4,7 miliar barel, sedangkan cadangan gas berada di angka 55,76 triliun kaki kubik (TCF). Disisi lain, 60% wilayah kerja migas tergolong lapangan tua, yang membutuhkan teknologi mahal untuk mempertahankan produksi.

“Tanpa insentif signifikan, kegiatan eksplorasi baru tidak akan menarik bagi investor,” ujar Komaidi di Jakarta, Selasa (26/11).

Regulasi yang tidak fleksibel turut menambah beban sektor hulu migas. PP No. 35 Tahun 2017 tentang skema kontrak gross split dianggap terlalu kaku untuk kondisi lapangan marjinal. Pasal 17 dan 31 tidak memberikan cukup fleksibilitas dalam penyesuaian bagi hasil, terutama untuk lapangan dengan risiko tinggi. “Mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan yang diatur dalam PP No. 17 Tahun 2017 juga memerlukan penyederhanaan,” katanya.

Reforminer mencatat, kebutuhan devisa impor migas terus meningkat, mencapai Rp380,4 triliun pada 2023, jauh melampaui rata-rata Rp290 triliun selama 2015-2022. Proyeksi RUEN bahkan memperkirakan angka ini melonjak hingga Rp 1.391 triliun pada 2030 jika eksplorasi baru tidak segera dimulai. “Ketergantungan impor tidak hanya membebani devisa negara, tetapi juga menurunkan daya saing kita secara global,” ujar Komaidi.

Selain tantangan tersebut, lanjut Komaidi, transisi energi global juga memberikan tekanan besar. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, migas masih akan menyumbang 34-44% dalam bauran energi hingga 2050. Namun, kebijakan fiskal yang ada belum cukup mendukung proyek berbasis gas alam atau energi ramah lingkungan lainnya. Pengembangan proyek gas yang potensial seperti 43 undeveloped discoveries membutuhkan insentif khusus.

“Kita perlu memberikan insentif tambahan untuk meningkatkan daya tarik investasi, terutama di lapangan marjinal,” kata Komaidi.

Penyederhanaan regulasi juga menjadi prioritas utama untuk memastikan keekonomian proyek migas. Komaidi mencontohkan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100% selama tahap eksplorasi. Selain itu, insentif berupa investment credit atau pengembalian modal tambahan untuk proyek berisiko tinggi tengah dikaji. “Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi migas terhadap penerimaan negara,” katanya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan 2023, sektor hulu migas menyumbang lebih dari Rp150 triliun terhadap penerimaan negara. Dampak ekonomi sektor ini juga terlihat dari efek ganda terhadap sektor lain, seperti jasa, logistik, dan manufaktur. “Kita tidak hanya berbicara soal penerimaan langsung, tetapi juga bagaimana sektor ini menjadi katalis pertumbuhan ekonomi,” kata Komaidi.

Selain insentif fiskal, pemanfaatan teknologi baru juga menjadi bagian dari solusi. Menurut Komaidi, teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) telah menunjukkan hasil positif di beberapa lapangan tua. Data SKK Migas menunjukkan bahwa penerapan teknologi ini dapat meningkatkan produksi hingga 20% di lapangan tertentu. “Investasi teknologi semacam ini hanya akan datang jika ada kepastian hukum dan regulasi yang mendukung,” katanya.

Dalam kajiannya, ReforMiner Institute juga berharap agar pemerintah mendukung transisi energi melalui kebijakan yang seimbang. Proyek berbasis gas alam dan panas bumi yang ramah lingkungan perlu mendapat prioritas. Integrasi energi fosil dengan energi baru terbarukan dapat menjadi jembatan menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan. “Kita tidak bisa meninggalkan sektor migas begitu saja, tetapi harus mengintegrasikannya dalam transisi energi,” ujar Komaidi.

Dengan reformasi kebijakan yang tepat, menurut Komaidi, sektor hulu migas dapat tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Langkah ini akan memastikan keberlanjutan investasi, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan impor. “Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjawab tantangan ini. Hanya dengan sinergi, kita bisa membawa sektor migas Indonesia ke tingkat yang lebih baik,” kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.(AT)