JAKARTA – Proses dan masa transisi pengelolaan blok migas yang habis masa kontraknya atau terminasi oleh PT Pertamina (Persero) dinilai tidak berjalan mulus. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab turunnya produksi di blok-blok migas yang baru saja dialihkelolakan ke Pertamina dalam dua tahun terakhir.
Tutuka Ariadji, Ketua Umum Ikatan Ahli Tehnik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan tidak hanya dari sisi waktu, namun model bisnis yang berbeda di setiap perusahaan juga harus menjadi perhatian dalam proses transisi blok migas.
“Masa transisi dari operator Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebelumnya yang memerlukan penyesuaian sistem manajemen karena praktek manajemen yang berbeda,” kata Tutuka kepada Dunia Energi, Senin (13/5).
Menurut Tutuka, masa transisi yang terjadi di blok-blok terminasi terlampau singkat. Padahal perlu waktu paling tidak lima tahun masa transisi agar perencanaan hingga implementasi untuk peningkatan caadangan dan produksi dapat terlaksana. “Menurut saya, sekitar lima tahun sudah tahun ada kepastiaannya,” ujar Tutuka.
Masa transisi di blok-blok terminasi yang dikelola oleh Pertamina hanya berkisar antara 1-2 tahun, bahkan ada yang kurang dari satu tahun. Padahal untuk bisa mendeteksi secara jelas apa yang sebenarnya menyebabkan penurunan produksi di lapangan terminasi manajemen Pertamina harus bergerak dan bersama para engineer di lapangan menemukan solusi.
Pasalnya, dalam kegiatan operasional di lapangan juga berpotensi ada masalah dimana para engineers yang mengalami manajemen dan prosedur pengambilan keputusan yang baru, pengadaan yang mempunyai prosedur berbeda, dan sebagainya.
“Top manajemen Pertamina perlu lebih cermat dan waspada dalam menyikapi masalah transisi yang sesungguhnya sudah diketahui akan terjadi dengan melakukan turun ke bawah langsung,” kata Tutuka.
Investasi di lapangan-lapangan migas tua juga sangat diperlukan. Karena akan sulit meningkatkan atau mempertahankan produksi di lapangan tua tanpa adanya investasi dan teknologi.
“Lapangan yang makin tua makin sulit untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi. Hal ini memerlukan investasi yang lebih besar untuk Operational and Maintenance (O&M), aplikasi teknologi baru, dan fasilitas pendukung,” katanya.
Pertamina menganggarkan sekitar US$2,5 miliar dana investasi di sektor hulu migas pada 2019. Dengan program yang tepat, dana sebesar itu seharusnya bisa membantu menekan laju decline rate.
Tutuka mengatakan perlu adanya pemahaman terhadap masing-masing lapangan sampai ke reservoir (karakterisasi dan kinerja). Hal itu adalah kunci dalam mengejar target menahan decline rate atau bahkan meningkatkan produksi.
“Tidak cukup hanya dengan pintar, tetapi perlu tekun dan berdedikasi dalam waktu yang cukup lama untuk menghayati perilaku reservoir,” kata Tutuka.
Pertamina sendiri diminta tingkatkan investasinya di waktu tersisa pada tahun ini menyusul rapor merah realisasi produksi di beberapa blok dengan kontribusi migas terbesar Pertamina di awal tahun ini. Ada empat anak usaha Pertamina di sektor hulu yang belum mencapai target produksi hingga 30 April 2019.
Salah satu KKKS yang belum mencapai target dan paling menjadi sorotan adalah PT Pertamina Hulu Mahakam yang mengelola Blok Mahakam. Pertamina telah menargetkan untuk membor 118 sumur di Blok Mahakam dan baru terealisasi sebanyak 30 sumur.
Salah satu KKKS yang belum mencapai target adalah Pertamina Hulu Mahakam yang mengelola Blok Mahakam. Pertamina telah menargetkan untuk membor 118 sumur di Blok Mahakam dan baru terealisasi sebanyak 30 sumur.
Pertamina Hulu Energi ONWJ Ltd realisasi produksi sebesar 28.850 Barel Per Hari (BPH) dan lifting 28.646 BPH atau 87% dari target APBN sebesar 33.090 BPH. Belum tercapainya target lantaran mundurnya kegiatan pemboran di Echo karena faktor cuaca.
Realisasi produksi Pertamina EP masih belum mencapai target, meski selisihnya tipis. Hingga 30 April tercatat realisasi produksi sebenarnya telah mencapai 965 MMSCFD, namun realisasi lifting gas baru 770 MMSCFD atau 95% dari target APBN 2019 sebesar 810 MMSCFD. Belum tercapainya target juga disebabkan karena decline rate yang tinggi di akhir 2018 terbawa hingga sekarang.
Realisasi produksi dan lifting Pertamina Hulu Mahakam sangat jauh dari target APBN. Realisasi produksi gas baru 725 MMSCFD dan lifting 667 MMSCFD atau 61% dari target sebesar 1.100 MMSCFD. Sama seperti produksi minyak, belum tercapainya produksi gas Pertamina Hulu Mahakam disebabkan decline rate yang lebih tinggi di akhir 2018 serta belum online-nya beberapa sumur yang sudah selesai dibor.(RI)
Komentar Terbaru