JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah membentuk sekretariat tim kerja Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP). Beberapa hasil kerja yang ditargetkan akan tercapai dalam kurun waktu 6 bulan ke depan antara lain tersedianya peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara, dan rampungnya rencana investasi yang komprehensif (Comprehensive Investment Plan/CIP) yang juga akan merefleksikan dukungan terhadap masyarakat terdampak proses transisi energi.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi kemajuan yang dicapai oleh pemerintah dan IPG untuk melaksanakan kesepakatan JETP. IESR mendorong agar tim kerja JETP tidak hanya menyusun peta jalan pensiun dini PLTU batubara yang sekedar demi mencapai target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di JETP, namun lebih ambisius dengan menyelaraskan target tersebut dengan Persetujuan Paris.
“JETP adalah kesempatan untuk mengakselerasi transisi energi dan menurunkan emisi GRK. Kepentingan Indonesia justru harus lebih jauh lagi yakni mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dan memperkuat industri energi terbarukan. Indonesia jangan ragu-ragu mengakselerasi transisi energi karena dengan ini kita dapat membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Jumat(17/2/2023).
IESR menghitung untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030 maka perlu dilakukan pengakhiran PLTU dan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada kurun waktu yang sama.
Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR, menjelaskan dalam analisis IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan pada sistem kelistrikan sebesar 34% pada 2030 sesuai target JETP, maka selain 20,9 GW proyek energi terbarukan yang sudah direncanakan di RUPTL 2021-2030, akan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. “Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan pemensiunan PLTU hingga 8,6 GW, sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga,” ujar Deon.
Berkaca dari pencapaian bauran energi terbarukan Indonesia di energi primer yang hanya mencapai 12,3%, pemerintah harus mampu mengatasi hambatan-hambatan pengembangan energi terbarukan seperti dengan memberikan dukungan kepada produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), memperbaiki prosedur pengadaan atau lelang energi terbarukan dan mengalihkan subsidi fosil untuk sektor energi terbarukan dan meniadakan kebijakan DMO.
“Dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target dan kapasitas terpasang energi terbarukan hanya tumbuh 300-500 MW per tahunnya. Sedangkan kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai 26 GW lebih dalam 8 tahun ke depan atau sekitar 3-4 GW per tahun. Komitmen pendanaan yang besar dari JETP yang akan dituangkan dalam rencana investasi ini, hanya bisa direalisasikan jika hambatan investasi energi terbarukan seperti prosedur pengadaan di PLN, aturan TKDN untuk PLTS yang tidak sesuai dengan
perkembangan industri dan subsidi harga batubara lewat kebijakan harga DMO dapat segera diselesaikan pada tahun ini,” kata Fabby.
Seiring dengan akan berakhirnya pengoperasian PLTU batubara, pemerintah pun harus mulai mempersiapkan pengelolaan yang tepat terhadap infrastruktur kelistrikan seperti jaringan dan penyimpan energi (storage), merencanakan diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batubara, dan memberikan pelatihan maupun insentif kepada para pekerja dan masyarakat yang terdampak dari penutupan PLTU.
Deon menambahkan bahwa perencanaan transisi energi perlu memberikan arah yang jelas secara jangka panjang, sehingga dampak negatif dari transisi energi, misalnya kepada para pekerja di PLTU & rantai pasok (supply chain) batubara, pengurangan penerimaan daerah dan nasional dari batubara, dan lainnya sudah bisa teridentifikasi dengan jelas.
“Dari sinilah dapat disusun strategi dalam melakukan transformasi sosial dan ekonomi, seperti penyiapan lapangan pekerjaan baru, dan pelatihan skill yang sesuai untuk pekerja,” ujar Deon.(RA)
Komentar Terbaru