JAKARTA – Ditengah kesibukannya mengawal sebuah perusahaan minyak dan gas (migas) multinasional, dengan seabrek tugas dan tanggung jawab, Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan Psi GPHR, ternyata masih sempat menyalurkan hobi, membuat catatan hasil perenungan maupun tentang fenomena yang dijumpainya dalam berbagai sisi kehidupan.
Dijumpai Dunia Energi pada Selasa malam, 2 Juli 2013 di kantornya, Komplek Sentral Senayan Jakarta, praktisi psikologi dan pengembangan sumber daya manusia lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) ini mengaku baru saja membuat catatan tentang tiga profesi yang paling berisiko, yakni profesi dokter, psikolog, dan hakim.
Sekilas memang aneh catatan Dony ini. Karena orang justru melihat kebanyakan dokter, psikolog, dan hakim, menjalankan tugas di tempat yang aman, dengan penghasilan yang cukup lumayan. “Tunggu dulu. Risikonya bukan pada orang yang menjalankan profesi dokter, psikolog, dan hakim itu. Risiko terbesarnya, justru bagi orang lain yang bersentuhan dengan pelaku tiga profesi itu,” ucapnya.
Berikut penjelasan Dony tentang 3 profesi yang paling berisiko bagi orang lain;
Pertama, Profesi Dokter
Dalam profesinya, dokter melakukan langkah-langkah teknis terstruktur yang dilakukan guna mencari dan mencatat simptom-simptom (tanda-tanda penyakit) pada pasiennya yang nantinya dipakai untuk menegakkan diagnosa mengenai penyakit yang diderita pasien tersebut. Semakin akurat dan komprehensif data dan fakta yang diperoleh, semakin baik diagnosa atas penyakit yang dan semakin tepat pula tindakan atau treatment yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasien tersebut. Nah disinilah letak resikonya dimana kemampuan dokter mencari data/symptom yang relevan, merumuskan dan menyimpulkannya menjadi suatu keputusan diagnosa hampir seluruh resiko atas diagnosa yang ditegakkan berada sepenuhnya pada diri si pasien.
Tak sedikit kejadian seperti ini manakala seseorang pasien yang telah sukses dilakukan tindakan operasi jantung ternyata akhirnya meninggal karena mengalami gagal ginjal akibat pengaruh dari obat yang diberikan untuk pengobatan jantungnya. Diagnosa atas penyakit jantungnya tepat, namun data-data tentang kondisi pasien secara menyeluruh tidak lengkap untuk dijadikan referensi dalam mengambil tindakan atau treatmen yang efektif dan aman.
Maka profesi dokter menjadi profesi pertama yang paling beresiko “bagi orang lain” dalam hal ini pasiennya meskipun diagnosa yang ditegakkannya atas suatu penyakit benar tetapi ternyata resikonya masih ada jika tindakan pengobatan yang dilakukan tidak memperhatikan kondisi pasien secara keseluruhan. Resiko yang dialami pasien adalah munculnya penyakit baru atau kematian.
Kedua, Profesi Psikolog
Sewaktu masih diawal bangku kuliah, Dony mengaku tidak terlalu yakin bahwa profesi psikolog sangat berisiko bagi orang lain. Tapi kemudian, ia menyadari bahwa hal tersebut benar adanya. Sebelum menegakkan diagnosa atas kondisi psikologis seorang klien, ujarnya, psikolog melakukan pengumpulan data-data dan informasi melalui anamnesa/wawancara, tes psikologi, dan beberapa cara lainnya sehingga diperoleh suatu gambaran yang utuh tentang latar belakang klien, pola pikirnya, apa yang dipikirkannya dan dirasakannya termasuk apa-apa yang menjadi kekhawatiran atau kecemasannya dan juga kecenderungan tindakannya. Lalu dimana risikonya?
Misalnya anak yang telah didiagnosa ternyata memiliki potensi kecerdasannya luar biasa dan masuk pada kategori “jenius”. Hasil diagnosa ini disampaikan oleh psikolog kepada orang tua si anak tanpa mempertimbangkan atas aspek-aspek anak lainnya. Ternyata si orang tua kemudian melakukan berbagai macam upaya “keras” untuk mengisi level kecerdasan tersebut sampai-sampai terlupa pentingnya keseimbangan perkembangan motorik, fisik, mental dan sosial anak sesuai usianya. Akhirnya si anak ini kehilangan masa kecil yang seharusnya menjadi memori indah yang mewarnai rupa kepribadiannya.
Risiko akan lebih besar misalnya saat psikolog menyatakan bahwa seseorang didiagnosa mengalami gangguan emosi yang hebat atau gangguan fungsi kepribadian tertentu tetapi tidak disertai dengan keakuratan data dan tindakan treatment yang tepat. Diagnosa atas pasien yang dianggap mengalami gangguan fungsi kepribadian seperti schizofrenia dapat mempengaruhi keseluruhan fungsi kehidupan seseorang. Jika diagnosa ini tidak tepat maka label ini akan menempel pada orang tersebut sepanjang sisa kehidupannya. Inilah resiko yang lebih besar: “Klien tetap hidup tapi jiwanya sakit atau mati! Klien tetap hidup tapi masyarakat mencapnya “gila”.
Ketiga, Profesi Hakim
Jika dua profesi di atas membicarakan mengenai diagnosa yang ditegakkan, maka kata Dony, pada profesi hakim bersangkut paut dengan vonis/putusan yang diambilnya dalam mengadili sebuah perkara. Sementara dalam dua profesi lain, penegakkan diagnosa, tepat atau tidak tepat, dilakukan di dalam hubungan yang tertutup antara dokter dan psikolog dengan pasien/kliennya, maka vonis hakim hadir dalam ranah publik, dicatat dalam administrasi negara dan disimpan sepanjang waktu dan menjadi acuan bagi proses-proses peradilan selanjutnya. Oleh karena itu orang yang mendapat vonis bersalah dan dipenjara, memperoleh label “residivis” yang akan menempel erat dalam hidupnya bahkan dikenang sampai sejarah generasi keturunan berikutnya.
Ketika suatu jenis kejahatan menjadi musuh yang nyata dan dibenci dalam suatu masyarakat, misalnya korupsi, maka mereka yang telah memiliki label “koruptor” akan mengalami resiko yang berat sepanjang hidupnya yang juga akan dirasakan oleh generasi keturunannya sebagai bagian dari keluarga “koruptor”. Akan sangat sulit bagi para keturunan koruptor yang hidupnya jujur untuk menghilangkan label yang terlanjur menempel.
Oleh karena itu, ujar Dony, profesi hakim menjadi profesi yang paling berisiko “bagi orang lain” jika hakim tidak melakukan proses pengumpulan data dan fakta yang komprehensif dan akurat, mengambil banyak aspek untuk menjadi pertimbangan dan memastikan diagnosa/vonis yang diambilnya memberikan tingkat obyektifitas tertinggi dan keadilan yang mendekati keadilan Tuhan Yang Maha Pengampun.
Sumpah Profesi
Berangkat dari itu, ungkap Dony, tidak salah apabila pada ketiga profesi tadi, dokter, psikolog dan hakim, para pelaku profesi ini harus menjalani sumpah profesi. Demi memastikan kemaslahatan bagi pihak lain, mereka bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk menjalankan profesi ini dengan sesungguh-sungguhnya dengan pertanggungjawaban tertinggi kepada Tuhan, yang akan mengadili seadil-adilnya semua diagnosa dan vonis yang telah dibuat.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Mantap sharingnya..profesi hakim ini juga termasuk di dalamnya penegak hukum secara keseluruhan termasuk jaksa,dkk…sumpah profesi menuntut seseorang bekerja bebas konflik kepentingan,motivasi tertentu yang menguntungkan kepentingan pribadi atau golongan..Andaikata sumpah profesi tersebut selalu di refresh setidaknya setahun sekali maka tidak mungkin ada di bumi indonesia ini jaksa yang salah mendakwa ataupun hakim yang salah memutuskan..Terima Kasih Pak Doni atas analisisnya..Maju terus profesionalisme profesi di Indonesia