JAKARTA – Empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang tersangkut kasus bioremediasi, tidak seharusnya dipidana atau dijadikan tersangka. Karena keputusan yang diambil di lapangan bersifat kolektif, dan mereka bukanlah pimpinan tertinggi di perusahaan itu.
Praktisi hukum ketenagakerjaan, Darmanto mengungkapkan, dalam kasus bioremdiasi Chevron, rujukannya adalah hukum korporasi. Sesuai pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka yang menghadapi tuntutan hukum seharusnya pimpinan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.
“Herannya, dalam kasus bioremediasi Chevron, yang dijadikan tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan adalah mereka yang berada di posisi Manager dan Team Leader,” tutur Darmanto dalam Focuss Group Discussion (FGD) “Membedah Hukum Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial di Sektor Migas” di Jakarta, Rabu, 14 November 2012.
Darmanto tak menampik, dalam hukum positif di Indonesia, jangankan terbukti ada kerugian negara, baru dalam tahap ada potensi kerugian negara saja, sudah bisa dikategorikan kasus korupsi. Namun demikian, dalam konteksi industri migas, ada atau tidaknya pelanggaran yang menimbulkan kerugian negara harus dibuktikan berdasarkan penyelidikan para ahli yang independen.
“Saya mendesak, terkait kasus bioremediasi Chevron segera dibentuk tim investigasi independen, yang menyatakan ada pelanggaran atau tidak. Tidak adil kalau orang hanya melihat sepintas kasus itu, langsung memvonisnya sebagai korupsi,” tandas advokat dari Farrianto & Darmanto Law Firm ini.
Pekerjaan di sektor migas, lanjutnya, juga merupakan pekerjaan yang menuntut kinerja tim yang sempurna. “Para pekerja migas utamanya yang bertugas di eksplorasi, mengemban tugas berat untuk membuktikan sesuatu yang tidak kasat mata. Yakni cadangan migas yang tersimpan jauh di dalam tanah. Untuk itu mereka harus berada dalam suasana kerja yang aman dan nyaman,” tukasnya.
Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Salis S Aprilian mengungkapkan, sejauh pengalamannya 23 tahun menjadi praktisi migas, tidak ada prestasi individual yang diraih oleh pekerja migas. Keputusan yang diambil para pekerja migas di lapangan untuk suatu kelancaran operasi, juga selalu melibatkan banyak orang dan banyak divisi, sehingga semua keputusan bersifat kolektif.
Berangkat dari itu, Salis merasa heran ada sejumlah karyawan Chevron yang dijadikan tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus bioremediasi. Mereka dituding bertanggung jawab atas dugaan korupsi dalam proyek bioremediasi (penanganan limbah bekas minyak pada tanah).
Padahal mereka bukanlah pengambil keputusan tertinggi, karena jabatannya hanya Manager dan Team Leader. Salis menandaskan, industri migas merupakan sektor yang menuntut teknologi dan skill yang tinggi bagi para pelaksananya. Sejauh ini, tidak banyak pihak yang memahami sistem kerja di sektor migas.
Bukan hanya itu. Sebelum bekerja, para pelaku industri migas sudah harus menjalani audit dalam tahap budgeting. Dalam proses pelaksanaan kerja pun dilakukan audit (carens audit), dan di akhir operasi pun ada pos audit oleh lembaga seperti BPK dan BPKP. Jadi sebenarnya kecil peluang para pekerja migas untuk melakukan penyelewengan atau perbuatan tidak etis.
“Disitulah pentingnya para ahli independen menilai, dan keberadaan Majelis Kehormatan Profesi sangat mendesak di sektor migas. Jika lembaga ini tidak segera dibentuk, dan para pekerja di sektor migas dihantui kekhawatiran bakal dipidanakan, maka ke depan industri migas kita akan terpuruk,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Komite Tetap Hulu Migas KADIN Indonesia, Firlie Ganinduto. Berdasarkan pengalamannya menggeluti industri migas, sektor hulu migas merupakan salah satu yang paling ketat dalam penerapan good governance, dibandingkan industri lainnya.
Maklum, industri migas selain padat teknologi, juga padat modal. Sehingga berbagai pengeluaran yang terjadi dalam kegiatan operasi, selalu diawasi dengan ketat baik oleh perusahaan sendiri, maupun pihak-pihak lain yang terkait.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru