JAKARTA – Perkara proyek bioremediasi atas terdakwa karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Bachtiar Abdul Fatah, diperkirakan akan segera disidangkan mulai 5 Juni 2013 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Langkah Kejaksaan Agung (Kejakgung) dinilai telah melanggar hak asasi manusia (HAM) seorang warga negara yang bebas.
Penasehat hukum CPI, Maqdir Ismail mengungkapkan, Kejakgung tidak hanya menyeret kembali Bachtiar sebagai terdakwa dalam kasus bioremediasi. Tetapi juga berencana segera memanggil karyawan CPI lainnya, Alexia Tirtawidjaja yang saat ini masih berada di Amerika Serikat merawat suaminya yang sakit.
Maqdir Ismail mengaku heran atas tindakan Kejakgung ini. Instansi yang berkantor di Gedung Bundar itu terkesan begitu bernafsu memproses kembali Bachtiar Abdul Fatah, padahal sudah jelas berdasarkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) bahwa tidak ada lagi kasus atas nama Bachtiar. Pasca putusan PN Jaksel itu, tidak ada penetapan lain dari pengadilan yang lebih tinggi.
Menurut Maqdir, tindakan Kejakgung tersebut melanggar hak hukum dan hak asasi kliennya sebagai warga negara yang bebas. “Seperti yang sudah diketahui juga oleh Kejakgung, putusan pengadilan yang sah dalam praperadilan telah membatalkan semua tuntutan terhadap Bachtiar terkait kasus bioremediasi yang kini tengah berlangsung di pengadilan,” ujar Maqdir.
“Silakan dicek kembali salinan putusan praperadilan tersebut, sangat jelas bahwa status klien kami sebagai tersangka telah dibatalkan oleh pengadilan. Alasan putusan pengadilan pun jelas bahwa tidak ada bukti-bukti permulaan yang sah sesuai hukum, untuk menetapkan Bachtiar sebagai tersangka,” terang Maqdir di Jakarta, Ahad, 2 Juni 2013.
Kejakgung Sewenang-wenang
Mengingat putusan praperadilan bersifat final dan mengikat, lanjut Maqdir, maka sesuai hukum semestinya Kejakgung mengajukan peninjauan kembali (PK). Bukan malah memproses penyidikan kembali dan melanjutkannya ke penuntutan. “Ini berbahaya karena penegak hukum bersikap sewenang-wenang,” ungkap Maqdir.
Terkait soal rencana pemanggilan dan pemeriksaan Alexia Tirtawidjaja, Maqdir pun meminta Kejakgung untuk selalu mengedepankan praduga tak bersalah. Apalagi dengan kenyataan bahwa Alexia belum pernah diperiksa ketika ditetapkan sebagai tersangka.
Seperti dijelaskan oleh Guru Besar Hukum UGM, Edward Omar Syarif Hiariej di hadapan majelis hakim perkara bioremediasi bahwa seusai asas hukum pidana, seseorang tidak boleh dihukum hanya karena prasangka. Seperti yang tertuang pada Pasal 2 dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dapat dipidana adalah kesalahan yang nyata, artinya kasat mata terlihat dan dapat dibuktikan.
Tiga hal yang terkait dengan kesalahan, lanjut Edward, adalah kemampuan bertanggung jawab, hubungan antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan yang melahirkan suatu kesalahan, serta tidak adanya alasan penghapus pertanggungjawaban pidana.
“Jika seseorang dijadikan tersangka sebelum unsur terpenuhi, ini disebut unfair prejudice atau prasangka yang tidak wajar. Ini harus dihindari,” tandas Edward di hadapan Majelis Hakim kasus bioremediasi yang diketuai Sudharmawati Ningsih beberapa pekan lalu.
Kejakgung Tidak Cermat
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menyatakan, Chevron dan seluruh karyawannya sangat anti korupsi, serta akan terus mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun ia mengaku sangat khawatir, melihat cara penanganan kasus dugaan korupsi oleh Kejakgung, yang nyata-nyata tidak mengikuti prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
“Kami hanya khawatir dan menjadi prihatin, jika cara-cara penanganan atas dugaan adanya korupsi, tidak dilakukan secara hati-hati dan cermat, terutama dalam menilai pelanggaran hukum dan menetapkan tersangka. Karena hal ini menyangkut persoalan yang sangat serius bagi siapapun yang dijadikan tersangka kasus pidana apalagi korupsi,” ujar Dony di Jakarta, Senin, 3 Juni 2013.
Dony lebih lanjut menjelaskan bahwa para karyawan dan kontraktor yang saat ini dijadikan terdakwa, tidak bertanggung jawab terhadap pelaksanaan PSC (Production Sharing Contract) migas PT CPI. Mereka hanyalah karyawan yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan fungsi dan peran yang ditugaskan oleh perusahaan. Sedangkan yang berkontrak adalah Chevron selaku korporasi dan Pemerintah Indonesia.
Tak satupun dari para terdakwa ini, menurut Dony, yang berwenang memutuskan untuk melanjutkan atau menghentikan proyek bioremediasi. Karena proyek ini adalah proyek perusahaan sesuai mandat PSC dan undang-undang lingkungan, yang pertanggungjawabannya ada ditangan perusahaan (CPI).
“SKK Migas juga sudah menyatakan, apabila ada sengketa mengenai program bioremediasi, maka seharusnya diselesaikan dengan mengacu kepada hukum perdata, seperti yang diatur oleh Kontrak Kerja Bersama (PSC) antara Chevron dan Pemerintah Indonesia,” lanjut Dony.
“Sesuai mekanisme PSC pimpinan perusahaan dan SKK Migas serta lembaga audit pemerintah akan membahas dan menyelesaikan setiap perselisihan. Begitulah mekanisme yang sudah disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan dijalankan selama puluhan tahun,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru