JAKARTA – Pengembalian biaya operasi dalam pengertian cost recovery menjadi hal yang umum ditemukan pada industri selain minyak dan gas (migas), dengan istilah antara lain cost reimbursement dan cost deduction. Komponen ini akan mempengaruhi kontrak bagi hasil.
Hadi Ismoyo, Chief of ITB Petroleum Engineering Alumni, mengatakan penerapan cost recovery untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia juga telah tertuang dalam Undang – Undang (UU) Panas Bumi 2003 dalam bentuk Joint Operation Contract (JOC).
“Hingga kini, JOC digunakan oleh PT
Pertamina (Persero) dan kontraktor dalam pengoperasian PLTP Salak, Darajat, Wayang Windu dan Sarulla,” kata Hadi dalam diskusi webinar bertemakan “Cost Recovery in Geothermal”, baru-baru ini.
Hadi mengatakan pada skema tersebut, negara menguasai aset PLTP dan kontraktor mendapatkan bagi hasil dari keuntungan bisnis panas bumi.
Indonesia pun memiliki skema yang disebut Non-JOC setelah diterbitkannya UU Panas Bumi, dimana mekanisme mendapatkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) adalah melalui proses lelang harga penawaran terendah.
Di sejumlah pelelangan, skema Non-JOC ini acapkali menghasilkan harga listrik yang tidak masuk di akal.
“Skema Non-JOC panas bumi di Indonesia menggunakan aturan satu perusahaan pengembang PLTP dapat mengajukan pelelangan satu WKP.. Dan karena aset dapat diserahkan kepada pengembang PLTP yang menjadi pemenang lelang, skema project financing menjadi memungkinkan untuk diupayakan oleh pengembang PLTP tersebut,” ujar Ali Ashat, Advsory Board of ITB Geothermal Master’s Programme.
Selain itu, pengembang PLTP wajib mengajukan harga kepada pembeli tunggal listrik di Indonesia, yaitu PT PLN (Persero).
Sayangnya, kata Ali, PLN tidak melakukan verifikasi biaya pengembangan PLTP menggunakan skema CR, tetapi menggunakan pertimbangan apakah harga yang diajukan pengembang PLTP tersebut legitimate atau tidak.
Ali mengatakan terdapat sejumlah tantangan utama lainnya dalam penerapan cost recovery untuk pengembangan panas bumi, antara lain risiko biaya eksplorasi yang tidak kurang dari US$30 juta dengan peluang keberhasilan kecil; tingginya biaya investasi pada awal proyek pengembangan, dimana biaya ini masuk dalam skala menengah di antara PLTA dan PLTU; harga listrik PLTP di Indonesia mengikuti mekanisme pelelangan harga penawaran terendah, dimana panas bumi berkompetisi langsung dengan komoditi lain seperti tenaga surya dan batu bara yang notabene memiliki jenis dan besaran komponen biaya yang tidak sama satu sama lain.
“Sebagian besar (70-80%) kandungan komponen barang dan jasa yang terlibat pada PLTP masih impor, dan penerimaan masyarakat masih rendah atas teknologi PLTP,” kata Ali.
Sejumlah tantangan lainnya juga penting diperhatikan, di antaranya lokasi sumber panas bumi yang umumnya berada jauh (bahkan sebagian berada
pada hutan konservasi/wilayah kehutanan) dari lokasi sumber permintaan/pelanggan listrik, sehingga PLTP belum dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat (dalam bentuk pertumbuhan industri, misalnya).
Ali menambahkan, setidaknya terdapat tiga pilar utama yang dapat menggerakkan industri panas bumi, yaitu penggalian, pengolahan dan pengelolaan
data eksplorasi dan produksi; sejumlah mekanisme fiskal yang atraktif dan
realistis; serta operasional yang berkelanjutan, yang perlu mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan.
“Seperti halnya konsep Petroleum Fund
dalam industri migas, mekanisme alokasi anggaran baik dari APBN maupun non-APBN, untuk mengumpulkan data geologi, geokimia dan geofisika (3G) dan drilling eksplorasi perlu diaktifkan dan diimplementasikan kembali,” tandas Ali.(RA)
Komentar Terbaru