JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan tidak boleh mengakomodasi kepentingan yang merugikan rakyat sehingga tidak boleh memasukkan hal yang berdampak negatif dalam daftar isian masalah (DIM_ yang berpotensi meningkatkan tarif listrik. Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, mengatakan transmisi listrik adalah milik badan usaha milik negara dan tidak boleh ada badan usaha lain yang menggunakannya.
 
“Power wheeling itu krusial, sifatnya bukan sekadar teknis. Jika power wheeling masuk dengan menggunakan transmisi negara, maka akan susah mengendalikan tarif listrik,” katanya.
 
Menurtu Mulyanto, negara diamanatkan dalam undang-undang untuk mengelola system ketenagalistrikan termasuk jaringan dan transmisi. “Jadi saya tegaskan, itu tidak boleh masuk dalam UU EBT nanti,” katanya.
 
Saat ini, negara juga sudah menyatakan akan membangun sistem transmisi berupa power grid atau bahkan super grid yang akan mengoptimalkan distribusi listrik di Tanah Air. “Itu jauh lebih bagus daripada negara membolehkan swasta/asing memakai jaringan dan transmisi kita,” katanya.
 
Mulyanto mengatakan, risiko kenaikan tarif listrik makin nyata jika power wheeling diterapkan. “Saat swasta masuk, tarif listrik akan susah dikendalikan oleh pemerintah. “Ini hanya menguntungkan swasta,” katanya,
 
Risiko-risiko seperti itu, lanjut Mulyanto, harus dihindarkan. “Masih banyak risiko karena terindikasi ada peran kuat dari asing yang ingin menguasai dan mengatur listrik di Indonesia,” katanya.
 
Klausul terkait Power Wheeling kembali muncul dalam pembahasan DIM DPR RI. Padahal, klausul itu sudah dicabut pada 24 Januari 2023 lalu dari DIM RUU EBET.

Untuk itu, Mulyanto menegaskan, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya power wheeling tidak dimasukkan dalam draft RUU tersebut. Pada konsep tersebut dia kurang setuju. “Saya termasuk yang anti power wheeling. Kan listrik terbilang cukup di Tanah Air. Masih cukup dipenuhi oleh negara,” katanya. (RA)