JAKARTA – PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengajukan relaksasi target pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, yang seharusnya ditargetkan selesai pada 2023. Relaksasi target itu karena adanya pemotongan anggaran dari  Freeport McMoran, pemegang saham PTFI serta akibat Pandemi Covid-19.

Fahmy Radhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan berdasarkan sales and purchase agreement (SPA) antara PT Inalum dan Freeport McMoran, yang ditandatangani pada 27 September 2018, pembangunan smelter merupakan salah satu syarat bagi Freeport untuk mendapatkan perpanjangan kontrak 2 x 10 tahun, dengan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). “Kalau pembangunan smelter tidak dapat diselesaikan sesuai taget pada 2023, tidak berlebihan dikatakan bahwa Freeport melakukan wanprestasi alias ingkar janji,” kata Fahmy (26/7).

Menurut Fahmy, ingkar janji Freeport dalam pembangunan smelter tidak hanya kali ini saja, namun pernah dilakukan beberapa kali. Padahal, UU Minerba 4 tahun 2009 telah mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter di dalam negeri paling lambat pada 2014. Pada saat itu, Freeport membangkang untuk memenuhi kewajiban smelterisasi, yang diwajibkan oleh UU. Pada saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mengizinkan ekspor konsentrat, Freeport berjanji akan membangun smelter asal dizinkan ekspor konsentrat. “Namun, setelah Menteri ESDM mengizinkan, Freeport ingkar janji dalam membangun smelter,” ujarnya.

Bagi Freeport lanjut Fahmy memang jauh lebih menguntungkan ekspor konsentrat daripada ekspor tembaga yang diolah di smelter dalam negeri. Menurut Direktur Utama Inalum, pemegang saham 51% PTFI, Orias P Moedak bahwa nilai tambah ekspor konsentrat bagi perusahaan bisa mencapai US$ 40 miliar. Sedangkan nilai tambah ekspor tembaga yang diolah di smelter dalam negeri hanya sebesar US$ 12 miliar. Namun, Moedak melupakan nilai tambah dan multiplier effect pembangunan smelter bagi perekonomian Indonesia. Selain produk turunan, antara lain emas, perak, kabel dan asam sulfat, yang memberikan nilai tambah, juga membuka lapangan pekerjaan.

Pengajuan relaksasi pembangunan smelter kata Fahmy mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan sama sekali terhadap pengelolaan PTFI, kendati Indonesia sudah menguasai mayoritas 51% saham. “PTFI tetap saja lebih mementingkan keuntungan korporasi ketimbang keuntungan perekonomian bangsa,” tegasnya

Apalagi menjadikan pengusahaan tambang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanah konstitusi tampaknya masih jauh panggang dari api.

Berdasarkan SPA 2018, track record Freeport yang cenderung ingkar janji, dan pertimbangan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia dalam pembangunan smelter. “Maka Menteri ESDM harus menolak pengajuan penundaan pembangunan smelter dan mengharuskan PTFI untuk menyelesaikannya sesuai target pada 2023,” tegas Fahmy. (RI)