MALAM itu, udara Jakarta terasa berat. Hari itu, Senin, 24 Februari 2025, menjadi momentum yang mengguncang industri energi nasional. Kejaksaan Agung menggelar konferensi pers, mengumumkan bahwa empat petinggi Pertamina serta tiga pihak swasta ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan minyak mentah dan BBM. Namun, satu kata yang diucapkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengubah segala-galanya: oplosan.

Sejak saat itu, bola panas isu ini menggelinding liar. Berita yang baru saja meledak di berbagai kanal media benar-benar di luar dugaan—lebih tepatnya, di luar kendali. Jagat maya meledak dengan umpatan dan kekecewaan. Meme-meme bernada sarkasme menyebar di media sosial.  Masyarakat yang selama ini rela membayar lebih mahal untuk membeli Pertamax, dengan keyakinan mendapatkan bahan bakar berkualitas, merasa dikhianati. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN), Subholding Commercial and Trading Pertamina,  salah seorang tersangka, menjadi bulan-bulanan netizen.

Namun, di tengah gelombang kemarahan publik, ada yang lebih mencengangkan: diamnya manajemen holding Pertamina di bawah kepemimpinan Direktur Utama Simon Alyosius Mantiri dalam mengelola isu “pengoplosan” BBM. Tidak ada konferensi pers, tidak ada klarifikasi dari pucuk pimpinan, menyikapi penangkapan jajaran petinggi dari tiga subholding perusahaan. Pembiaran ini terjadi hingga beberapa puluh jam. Yang muncul kemudian hanya pernyataan singkat dari PPN, yang akhirnya ditarik karena dinilai bukan representasi dari Pertamina sebagai induk usaha.

Manajemen Pertamina terkesan gagap menghadapi kasus ini.   Sementara itu,  pihak Kejagung makin menyudutkan Pertamina dengan pernyataan “oplos” BBM. Pertamina kian tak berdaya. Ketika dilawan, berarti bisa dianggap meragukan hukum. Masalahnya, pengetahuan teknis serta proses bisnis dari minyak mentah dari perut bumi hingga menjadi bahan bakar, sejatinya bukan ranah aparat penegak hukum, tapi ahli. Nah, para ahli itu, salah satunya adalah Pertamina.

Tidak sedikit kalangan yang menilai salah satu penyebab isu pengoplosan menjadi liar dan bola panas akibat terlambatnya manajemen Pertamina dalam merespons kejadian tersebut. Bahkan ada kesan manajemen krisis tidak siap ketika perusahaan menghadapi kondisi khusus seperti itu. Ini bisa terlihat dari kronologi mulai dari penetapan tersangka, isu pengoplosan hingga klarifikasi.

Kegagapan Manajemen Krisis

Setelah menerima berbagai serangan di media maupun dunia maya, manajemen Pertamina pun bersuara. Tidak secara langsung, manajemen Pertamina hanya memberikan klarifikasi informasi melalui rilis kepada para awak media pada Rabu (26/2/2025) malam. Pertamina menginformasikan bahwa spesifikasi BBM yang dijual ke publik sudah sesuai spesifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Migas Kementerian ESDM. Petinggi serta Direksi holding Pertamina masih juga belum bisa dimintai keterangan atau minimal memberikan respons langsung melalui konferensi pers. Justru pemerintah yang akhirnya turun tangan “membela”,  entah membela diri mereka atau Pertamina.

Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, menegaskan bahwa proses blending dalam proses produksi BBM hal wajar dan BBM Pertamina sudah sesuai standar. Lagi-lagi, holding Pertamina tak bersuara. Masyarakat terus menantikan penjelasan dari Pertamina sampai pada akhirnya Komisi XII DPR memanggil manajemen PPN. Kembali, Dirut Simon dan petinggi holding Pertamina, tak tampak. Mars Ega Legowo, Plt Direktur Utama PPN, menjelaskan secara detail bisnis proses PPN kepada anggota Komisi XII DPR.

Penjelasan dari holding Pertamina kepada masyarakat masih belum juga diberikan. Berdasarkan penelusuran Dunia Energi tidak selang dua hari setelah berita dugaan oplos BBM “meledak”, ada aktivitas tandingan di dunia maya yang berisi narasi penjelasan tentang bagaimana proses produksi BBM dan lain melalui penggunana teknologi dan pengawasan ketat sehingga tidak sembarangan BBM bisa disebut “oplos”. Bahkan belakangan diksi kata “oplos” juga diklarifikasi oleh Kejagung.

Berbagai informasi dan narasi proses produksi BBM tersebut justru disebarkan secara individu oleh para pegawai Pertamina. Informasi yang diperoleh Dunia Energi, petinggi Pertamina justru menginstruksikan untuk “tiarap” alias tidak melakukan apapun menunggu perkembangan situaasi. Sumber Dunia Energi di internal Pertamina mengatakan, tidak ada arahan khusus dari manajemen untuk memberikan edukasi kepada masyarakat alias inisiatif sendiri. “Tidak ada arahan khusus, inisiatif saja sendiri tujuannya untuk meluruskan informasi yang beredar,” katanya.

Namun tidak sedikit juga yang mengaku akhirnya cara tersebut menimbulkan gesekan horizontal atau antarindividu. Masyarakat terbagi menjadi dua, ada kelompok yang “panas” dan emosi kepada Pertamina ada yang juga membela. Pertempuran sengit terjadi di dunia maya.

Butuh waktu seminggu bagi Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, untuk akhirnya berbicara di depan publik. Dalam konferensi pers pada 3 Maret 2025, ia menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat dan menegaskan bahwa Pertamina menghormati proses hukum yang berjalan.

“Ini tentunya adalah peristiwa yang memukul kita semua. Ini adalah salah satu ujian besar yang dihadapi Pertamina,” ujar Simon di Graha Pertamina.

Dia juga mengumumkan pembentukan Tim Crisis Center untuk membenahi proses bisnis dan operasional. Bahkan, dalam upaya untuk lebih dekat dengan Masyarakat, Simon memberikan nomor pribadinya untuk menerima keluhan. “Saya memberikan nomor khusus saya, 0814-1708-1945. Saat ini bisa untuk menerima SMS, nanti akan segera didaftarkan untuk menggunakan WhatsApp,” ujarnya.

Namun, bagi sebagian besar masyarakat, pernyataan ini terasa terlambat dan terlalu normatif. Mereka menginginkan jawaban yang lebih konkret, bukan sekadar permintaan maaf atau janji pembenahan.

Pelajaran dari Krisis

Rachman Ridatullah, pakar komunikasi sekaligus Dosen Program Studi Manajemen Produksi Media, Fikom Universitas Padjadjaran menilai ada tiga isu yang secara kasat mata terlihat jelas sebagai kelemahan manajemen Pertamina dalam menghadapi krisis isu Pertamax oplosan.

Pertama, keterlambatan dalam merespons Isu. “Pertamina tampaknya lambat dalam merespons isu tersebut, sehingga membiarkan isu tersebut berkembang dan memengaruhi kepercayaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Pertamina belum memiliki sistem manajemen krisis yang efektif,” kata Rachman saat dihubungi Dunia Energi, Senin (3/3/2025).

Kedua, lanjut Rachman, kurangnya transparansi. Pertamina dinilai belum memberikan penjelasan yang jelas dan transparan tentang isu tersebut sehingga memicu spekulasi dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. “Hal ini menunjukkan bahwa Pertamina belum memiliki komitmen yang kuat terhadap transparansi dan akuntabilitas,” ujarnya.

Ketiga, komunikasi yang coba dibangun oleh Pertamina terlihat kurang efektif. Pertamina belum memiliki strategi komunikasi yang efektif untuk menghadapi krisis tersebut sehingga membiarkan isu tersebut berkembang dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat.

Kisah keterlambatan, pembiaran, tiarap atau low profile atau apapun namanya, terkait dugaan “pengoplosan” BBM sejatinya bukan hanya tentang kasus hukum atau dugaan korupsi. Ini adalah cerminan dari bagaimana sebuah perusahaan energi raksasa gagal mengelola krisis yang mengancam reputasi dan kepercayaannya. Keputusan untuk tiarap dalam situasi seperti ini justru memperburuk keadaan, membiarkan narasi liar berkembang tanpa kendali.

Kepercayaan publik adalah modal yang lebih berharga daripada sekadar laporan keuangan yang sehat. Jika Pertamina ingin keluar dari badai ini, mereka harus bergerak lebih cepat, lebih transparan, dan lebih proaktif dalam membangun komunikasi yang jelas dan meyakinkan. Pada akhirnya, bukan hanya citra yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan perusahaan dan ketahanan energi negeri ini. (RI)