WACANA tentang resafel personel direksi PT Pertamina (Persero) terus menguat. Apalagi dalam waktu dekat Pertamina dikabarkan melakukan rapat umum pemegang saham. Maklum, hingga saat ini, Kementerian BUMN selaku pemegang saham Pertamina, belum juga mengesahkan laporan keuangan tahunan (annual report) perusahaan. Lazimnya, pengesahan laporan keuangan tersebut dilaksanakan dalam sebuah RUPS.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, seperti dikutip Kontan, Kamis (28/5), mengatakan bahwa tidak ada RUPS Pertamina pada Juni 2020. Padahal sebelumnya tersiar kabar, Pertamina akan melakukan RUPS pada Rabu (10/6).
Lepas dari bantahan Nicke terkait penyelenggaraan RUPS, Kementerian BUMN sejatinya perlu mengevaluasi skuad “kesebelasan” direksi Pertamina saat ini. Evaluasi tersebut sangat penting untuk menilai sejauhmana kinerja direksi. Harap tahu saja, direksi Pertamina saat ini adalah hasil “tambal sulam” karena ada anggota direksi yang dicopot di tengah jalan oleh pemegang saham sebelum masa (periode) jabatannya berakhir.
Awalnya, jajaran BOD di bawah pimpinan Nicke dikukuhkan pada 29 Agustus 2018. Ada 11 orang yang diangkat oleh pemegang saham duduk jadi direktur. Paling muda adalah Arief Budiman, direktur keuangan. (Arief adalah direktur saat Pertamina dipimpin oleh Dwi Soetjipto pada November 2014, saat Jokowi kali pertama dipilih jadi presiden). Berikutnya, direktur paling senior adalah Darmawan H Samsu, direktur hulu. Sisanya, berada di usia 50-an awal. Mereka adalah Dirut Nicke, Direktur Sumber Daya Manusia Kushartanto Koeswiranto, dan Direktur Pengolahan Budi Santoso Syarif.
Pemegang saham juga memecah direktur pemasaran dari biasanya satu menjadi dua orang, yaitu Direktur Pemasaran Korporat Basuki Trikora Putra dan Direktur Pemasaran Ritel Mas’ud Khamid. Posisi lainnya adalah Direktur Perencanaan, Investasi, dan Manajemen Risiko (PIMR) dijabat Gigih Prakoso, Direktur Manajemen Aset M Haryo Junianto, Direktur Mega Proyek dan Petrokimia (MPP) Heru Setiawan, dan Direktur Logistik Supply Chain dan Infrastruktur (LSCI) Gandhi Sriwidodo.
Beberapa bulan kemudian, pemegang saham melakukan resafel terhadap “kesebelasan” direksi Pertamina. Gigih yang tadinya direktur PIMR, dimutasi jadi Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Posisi Gigih digantikan oleh Heru Setiawan. Adapun posisi yang ditinggalkan Heru dijabat oleh Ignatius Talulembang. Sedangkan Arif Budiman dipromosikan dari direktur keuangan menjadi Direktur Utama PT Danareksa (Persero). Arif digantikan oleh Pahala N Mansury, mantan direktur utama PT Garuda Indonesia (Persero) cum mantan Direktur di PT Bank Mandiri Tbk.
Skuad ini pun tak bertahan lama. Pahala, yang rekam jejaknya dinilai banyak kalangan kurang memikat saat memimpin Garuda, itu digantikan oleh Emma Sri Martini pada 11 November 20119. Emma, yang kelahiran Majalengka, 22 Maret 1970, itu sebelumnya memimpin PT Telkomsel, anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) sejak Mei 2019. Ke mana Pahala? Rupanya, pemegang saham menahbiskan yang bersangkutan sebagai direktur utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN).
Sebulan kemudian, pemegang saham melakukan resafel. Kali ini giliran Direktur LSCI Gandhi Sriwidodo pada 26 Desember 2019. Tak jelas apa alasan pemegang saham mendepak Gandhi dari jabatannya. Dia digantikan oleh Mulyono, Senior Vice President Asset Strategic Planning and Optimization Pertamina, yang juga doktor ahli perkapalan dari Institut Teknologi 10 November Surabaya.
Kebijakan pemegang saham Pertamina yang suka menggeser-geser direksi Pertamina, entah untuk mutasi atau promosi ke BUMN lain, dalam waktu terlalu cepat sejatinya kurang elok. Apalagi, “kesebelasan” direksi Pertamina saat ini perlu fokus menghadapi tren harga minyak dunia yang cenderung turun dan pandemic Covid-19. Perusahaan harus keluar dana besar, puluhan atau mungkin ratusan miliar rupiah, demi membantu Pemerintah Indonesia mengurangi beban untuk memberikan bantuan sosial bagi warga terdampak Covid-19. Di sisi lain, sektor hilir yang sejatinya memberi kontribusi saat harga minyak turun, tak bisa berbuat banyak. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimulai 16 Maret 2020 juga merontokkan bisnis hilir Pertamina. Penjualan avtur, BBM, dan LPG turun bebas karena berkurangnya konsumen. Apalagi daya beli masyarakat juga turun drastis.
Manajemen Pertamina pun terpaksa kudu mengencangkan ikat pinggang. Kebijakan efisiensi dan revisi target tahunan pun dilakukan dengan melihat realitas saat ini dan ke depan.
Lantaran terlalu fokus soal sisi operasi dan finansial, manajemen Pertamina—dan juga pemegang saham—absen bahwa saat ini Pertamina juga kekurangan calon pimpinan, terutama di level Vice President dan General Manager, yang mayoritas akan pensiun tahun ini. Proses regenerasi yang terlambat ini bisa mengancam kelangsungan bisnis perusahaan di masa datang. Itu baru dari sisi ancaman kekurangan SDM di level menengah-ke atas.
Di sisi pimpinan anak usaha pun sejatinya Pertamina menghadapi masalah. Di sektor hulu misalnya, ada beberapa dirut anak usaha yang akan pensiun tahun ini. Tiga di antaranya adalah jebolan Bimbingan Profesi Sarjana Teknik (BPST) 2 Pertamina tahun 1990, yaitu Direktur Utama PT Pertamina EP Cepu Jamsaton Nababan, Direktur Utama PT Pertamina International EP Deni S Tampubolon, dan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Indonesia Bambang Manumayoso.
Dunia Energi mendapat kabar bahwa Pertamina tengah melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test/FPT) untuk calon BOD anak usaha, terutama di sektor hulu. Beberapa BOD dan pejabat selevel VP dan GM anak usaha diwartakan sudah mulai proses FPT. VP dan GM promosi untuk jadi BOD. Adapun BOD bersaing menjadi calon direktur utama di anak usaha hulu Pertamina.
Dalam pengamatan Dunia Energi, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham sejatinya ikut dalam proses FPT tersebut. Tidak hanya diwakilkan kepada direksi dan komisaris Pertamina. Bahkan, seperti disebutkan sebelumnya, pemegang saham pun kudu mengevaluasi “kesebelasan” direksi Pertamina saat ini.
Adakah perlu dirombak seluruhnya? Atau diresafel hanya untuk direksi yang memang performanya tak moncer? Termasuk pula soal perlunya kemungkinan restrukturisasi organisasi? Bila 11 direksi saat ini dianggap gemuk, bisa saja diciutkan menjadi hanya beberapa personel. Lima BOD cukup untuk memimpin Pertamina. Mereka terdiri atas dirut, direktur keuangan, direktur human capital dan asset, direktur PIMR, dan direktur pengolahan. Sisanya, jadi subholding.
Direktur hulu misalnya dilepas. Sembilan anak usaha hulu Pertamina, di antaranya PT Pertamina EP, PEPC, PT Pertamina Hulu Energi, PHI, PIEP, PT Pertamina Geothermal Energy, PT Elnusa Tbk, dan PT Pertamina Drilling Services Indonesia, di satukan di bawah holding perusahaan hulu Pertamina. Dirut subholding hulu berasal dari dirut anak usaha hulu yang kinerjanya moncer. Nama Nanang Abdul Manaf (mantan dirut PEP) sangat pas memimpin subholding hulu. Nanang baru beberapa hari ini pensiun dari Pertamina. Kepemimpinannya juga mumpuni, selain memang rekam jejaknya sangat moncer. Buktinya, dalam tiga tahun memimpin Pertamina EP kinerja anak usaha hulu Pertamina itu cukup bagus. Produksi naik, kontribusi laba bersih perusahaan ke induk usaha juga terus meroket. Belum pula implementasi program tanggungjawab sosial dan lingkungan yang sangat keren. Itu tergambar dari raihan empat PROPER Emas dalam dua tahun berturut, 2018-2019. Adapun para Senior Vice President yang ada di direktorat hulu saat ini, masuk dalam struktur subholding hulu.
Demikian pun di pemasaran. Direktorat Pemasaran dijadikan satu holding Pertamina dengan seorang dirut yang memimpin. Para SVP di direktorat Pemasarsan Korporat dan Ritel pindah ke sana. Anak usaha yang terkait dengan pemasaran produk seperti PT Pertamina Lubricants, PT Pertamina Patra Niaga, dan PT Pertamina Ritel diintegrasikan.
Dari informasi yang diperoleh Dunia Energi, Kementerian BUMN akan melakukan restrukturisasi organisasi Pertamina. Di level BOD misalnya, jajaran direksi hanya akan ada lima orang, yaitu dirut, direktur PIMR, direktur keuangan, direktur human capital, dan corporate services. Di luar itu akan ada tiga fungsi “leher” Dirut, yaitu Corporate Control (risk management, internal audit, dan legal), Corporate Secretary and Communications (termasuk CSR), serta Integrated Supply Chain. Adapun sektor hulu, hilir, dan pengolahan menjadi subholding. Skema subholding ini terdiri atas perusahaan hulu; perusahaan pengolahan dan petrokimia; pemasaran dan perdagangan, perusahaan gas dengan subholding PT Perusagaan Gas Negara Tbk, serta listrik dan energi terbarukan.
Subholding ini akan memiliki sejumlah portofolio subholding. Di sektor hulu misalnya seluruh anak usaha hulu bergabung di sini, antara lain Pertamina EP, Pertamina Hulu Energi, Pertamina EP Cepu, Pertamina Hulu Indonesia, PT Elnusa Tbk, PT Pertamina Drilling Services Indonesia. Pertamina Geothermal Energy akan digeser ke subholding listrik dan energi terbarukan.
Sektor pemasaran dan supply chain serta perdagangan memiliki beberapa portofolio subholding seperti PT Pertamina Patra Niaga, Pertamina Ritel, dll. Adapun di portofilio subholding gas akan memiliki PT Pertamina gas, PT Gagas, dan PT Nusantara Regas. Sementara itu, portofolio subholding listrik dan energi terbarukan adalah PT Pertamina Power Indonesia dan PGE.
Jika rencana restrukturisasi organisasi Pertamina ini jadi dilaksanakan, itu berarti benar apa yang diproyeksikan oleh Rhenald Kasali, guru besar manajemen Fakultas Ekonomi Indonesia. Pada sekira 12 tahun lalu, Rhenald menyatakan di masa depan, Pertamina akan mengambil konsep-konsep strategic holding. Artinya, kantor pusat hanya akan berfungsi sebagai corporate center, yaitu menjadi pembuat kebijakan korporat, pemgawas, sekaligus sebagai integrator. Kantor pusat akan mengoordinasikan unit-unit bisnis dan berperan sebagai profit center.
“Unit-unit bisnis ini diberikan wewenang untuk mengurus operasi bisnis masing-masing, sesuai dengan kebijakan korporat sebelimnya. Struktur direktorat Pertamina saat ini merupakan sebuah transisi menuju struktur organisasi berbasis federalisasi di masa depan,” tulis Rhenald dalam Mutasi DNA Powerhouse; Pertamina On The Move (2008: 314-315).
Tantangan Kian Berat
Restrukturisasi organisasi Pertamina memang sebuah keniscayaan. Apalagi, tantangan global yang akan dihadapi Pertamina ke depan sangat berat, yaitu green economy. Konversi ke green energy ini akan memaksa Pertamina juga berbenah. Pertama, pertumbuhan mobil listrik yang akan berdampak pada penjualan BBM Pertamina. Kedua, pengenaan pajak pada karbon untuk pendapatan negara karena memudahkan pemotongan subsidi BBM. Ketiga, ketidakpastian ke depan industry minyak karena masyarkat lebih banyak bekerja dari rumah. Transportasi rumah ke tempat kerja mengonsumsi sekitar 8 persen permintan minyak, konsumsi nbahan bakar jet turun setara dengan 2 persen permintaan minyak.
Di era normal baru, manajemen KKKS, termasuk Pertamina harus berubah. Manajemen via online: komunikasi kerja tim, serah teirma pekerjaan, jumlah terbatas di lapangan. Berikutnya, transportasi material dari luar negeri menggunakan standard operating procedure (SOP) baru. Pun pengendalian operasi dan pemeliharaan serta mobilisasi staf, menggunakan SOP baru.
Kepemimpinan Pertamina di era saat ini dan ke depan memang penuh ketidakpastian. Ini sejatinya bukan hanya bagi Pertamina, tapi semua pelaku bisnis. Karena itu, Pertamina membutuhkan pimpinan yang mumpuni menghadapi tantangan berat tersebut. Apalagi mulai tahun depan, Pertamina akan memegang peranan pasca mengelola Blok Rokan, kontributor produksi nomor dua terbesar minyak nasional setelah Blok Cepu. Dengan mengelola Blok Rokan, Pertamina akan menjadi kontributor utama produksi minyak dan gas gas nasional. Pertamina sebelumnya juga telah mengelola Blok Mahakam, kontributor utama gas nasional.
Tutuka Ariadji, Guru Besar Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung, dalam diskusi virtual bertajuk Kepemimpinan KKKS dalam Era New Normal yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S), Kamis (4/6) pekan lalu, mengatakan Pertamina akan menghadapi permasalahan teknis kelas dunia seiring masuknya Blok Rokan. Pasalnya, Lapangan Minas memiliki permasalahan teknis kelas dunia. “Untuk itu perlu leader di Pertamina yang bisa melihat teknologi yang dibutuhkan untuk mengatasinya. Leader-nya memang perlu mengetahui politik, tapi jika tidak menguasai teknologi yang dibutuhkan, buat apa,” kata Tutuka saat itu.
Pimpinan yang dibutuhkan Pertamina adalah yang bisa membawanya menjadi perusahaan kelas dunia karena masalah yang dihadapi juga kelas dunia. “Kalau dari sisi manusia Indonesia, saya yakin punya reputasi yang baik, sekarang masalahnya di manajemen,” katanya.
Di sisi lain, Komaidi Notonegoro, Direktur ReforMiner Institute, menilai Pertamina membutuhkan sosok yang unik, tidak hanya pintar tapi juga mengerti. Salah satu standar utama adalah kompetensi yang mumpuni dan harus bisa diterima dan berkomunikasi dengan banyak pihak. “Paling tidak bisa berkomunikasi dengan Kementerian ESDM, BUMN, Keuangan dan yang lebih unik bisa komunikasi dengan DPR,” katanya.
Julius Wiratno, Deputi Operasi SKK Migas, berpendapat pimpinan KKKS, termasuk juga anak-anak usaha Pertamina di sektor hulu, tidak hanya harus mengerti soal teknis, tapi juga kemampuan adaptif dalam suatu kasus. Tidak hanya mementingkan sektor saja, tapi juga harus melihat lebih luas lagi. “Butuh sosok yang bisa melihat jangka panjang. Lebih makro akan lebih survive. Jadi harus mempunyai kemampuan prediksi ke depan,” katanya.
Julius juga mengakui, Pertamina memiliki banyak anak usah, yang sebagian pimpinannya akan memasuki masa pensiun. Namun usia pensiun tidak berarti tidak produktif lagi. Pertamina merupakan perusahaan besar dan BUMN. Semakin tinggi posisi, CEO atau direksi harus punya pandangan yang lebih luas, tidak hanya teknis saja. Karena mau tidak mau berhubungan dengan nonteknis.
“Idealisme yang kuat di teknis bisa terkalahkan dengan soal lain. Untuk itu harus berani. Pertamina itu pelat merah, kalau terlalu idealis, bisa mati juga. Jadi leader di Pertamina tidak hanya harus pintar, tapi pintar-pintar,” kata Julius.
Evaluasi pimpinan memang sebuah keniscayaan. Bila bagus pertahankan, bila kurang moncer diganti pun sejatinya tak mengapa. (DRR)
Sangat setuju untuk dievaluasi terutama terkait jumlah Direksi Pertamina yang 11 orang. Menurut saya jumlah 11 orang ini terlalu banyak. Idealnya cukup 7 atau 8 direksi. Sekalian untuk efisiensi dan juga kemudahan koordinasi dan pemenuhan Manpower yang mumpuni.