JAKARTA – Pemerintah menjamin proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang digarap PT Chevron Pacific Indonesia tidak akan terganggu, meski blok Makassar Strait tidak ikut dikelola perusahaan migas asal Amerika Serikat itu.
Amien Sunaryadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan proyek IDD tetap berjalan dan pihak Chevron sudah menyodorkan revisi rencana pengembangan (plan of development/PoD) terbaru.
Tiga blok migas yang termasuk dalam proyek IDD adalah Makassar Strait, Rapak dan Ganal. Rapak dan Ganal potensinya besar, sedangkan Makassar Strait paling kecil karena itu tidak ada pengaruh berarti dengan dikeluarkannya Makassar Strait.
“Jadi begini, itu sudah mengajukan, terus dari diskusi diputuskan Makassar Strait dikeluarkan. Jadi revisinya cuma mengeluarkan Makassar Strait, desain dan lain-lain tidak ada revisi,” kata Amien di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jakarta, Rabu (11/7).
Proyek IDD tahap kedua, dilakukan pengembangan lapangan Gendalo dan Gehem. Lapangan Gendalo sebagian ada di wilayah kontrak Makassar Strait, namun persentasenya hanya 1,8% sehingga tidak akan berdampak signifikan.
Untuk blok Rapak dan Ganal, ads beberapa lapangan migas yakni Gendalo, Gehem, Bangka, West Seno.
“West Seno dan Bangka sudah berproduksi. Gendalo, Gehem dan beberapa lapangan lain ini yang akan diproduksikan dalam konteks IDD. Makassar Strait ada Maha, belum produksi, sudah eksplorasi dan sudah discovery,” ungkap Amien.
Blok Makassar Strait akan dilelang ulang lantaran Chevron tidak berminat melanjutkan pengelolannya pasca habis kontrak pada 2020.
Menurut Amien, Makassar Strait diyakini masih akan memiliki peminat. Apalagi dalam industri hulu migas tidak ada yang benar-benar bisa diprediksi, karena itu masih ada peluang untuk Makassar Strait mendapatkan operator baru.
Dia mencontohkan pada blok Cepu yang sebelumnya tidak ditemukan cadangan akan tetapi setelah Exxonmobil masuk, diketemukan cadangan yang sekarang jadi kontributor minyak terbesar Indonesia.
Hal itu karena kemampuan masing-masing perusahaan untuk memprediksi potensi sumber daya dalam tanah berbeda karena menggunakan metode perhitungan yang pasti juga berbeda.
“Misalnya Banyu Urip, ditangani perusahaan sebelumnya juga enggak ketemu. Baru pas ditangani Exxon ketemu besar. Ini kan bisa begitu, jadi masing-masing perusahaan punya analisis sendiri, software sendiri-sendiri yang algoritmanya beda. Jadi keputusan yang satu beda dengan yang lain,” kata Amien.(RI)
Komentar Terbaru