JAKARTA – Pemerintah meyakini iklim investasi sektor hulu migas di Indonesia sudah bergerak ke arah arah yang positif. Ini ditandai sejak tahun 2020 dimana pemerintah kembali memberikan lampu hijau untuk menggunakan skema cost recovery dalam skema kontrak bagi hasil migas yang diyakini bisa mendorong atraktifitas dan agresifitas para pelaku usaha dalam melakukan perburuan cadangan dan meningkatkan produksi migas.

Belum lagi dengan berbagai kemudahan serta fasilitas yang diberikan pemerintah sehingga bisa terlihat adanya peningkatan aktifitas dalam kegiatan operasi migas di tanah air.

Yulianto, Koordinator Pengawasan Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi, Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan eksplorasi migas masih sangat dibutuhkan mengingat kebutuhan energi dalam hal ini energi fosil dalam satu dekade ke depan masih cukup besar. Dengan Sumber Daya Alam (SDA) migas yang ada di Indonesia saat ini, seharusnya Indonesia bisa terhindar dari krisis energi.

“Saat ini industri migas Indonesia masih menarik di tengah berbagai kendala yang terjadi. Pemerintah juga terus mendorong berbagai perbaikan baik dari sisi regulasi maupun fiscal term agar dapat mengakomodir kebutuhan investor,” kata Yulianto dalam media briefing pre-event IPA Convex 2025, Kamis (24/4).

Selain itu, dia optimistis daya saing bisnis industri hulu migas dipastikan masih menarik tapi harus dibandingkan dengan pesaing-pesaing dari negara lain.

“Dilihat dari perkembangan joint study ada sudah 24 joint study dilakukan peningkatan signifikan minat investasi masih cukup baik. Tidak cukup sampai di situ terus upayakan. perbaiki term and condition, melalui surat keputusan menteri dan permen-permen baru (regulasi). Koordinaasi atau kewenangan antar stakeholder termasuk dengan pemerintah daerah,” jelas Yulianto.

Sementara itu Asnidar, Kepala Divisi Prospektivitas Migas dan Manjemen Data Wilayah Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan  Indonesia kini berada pada urutan ke-2 di Asia Tenggara dalam kebijakan fiskal, menurut  WoodMac di tahun 2025.

Dia menilai masih terdapat peluang untuk peningkatan lebih lanjut dalam rangka meningkatkan daya saing yang dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama memberikan peluang yang lebih lebar dalam hal kontrak bagi hasil untuk kontraktor.

“Hal ini juga mencakup pemberian insentif yang lebih besar bagi para pelaku industri di area frontier yang umumnya memiliki keterbatasan akses serta biaya eksplorasi dan risiko yang lebih tinggi, seperti di area laut dalam dan area dengan topografi yang menantang,” kata Asnidar.

Selanjutnya dari sisi operasional, beberapa langkah strategis perlu diambil untuk mempermudah proses perizinan serta memfasilitasi proses yang sudah agar cukup melalui satu pintu saja. “Jadi pihak kontraktor dapat lebih fokus pada aspek teknis dan teknologi,” ungkap Asnidar.

Agresifitas eksplorasi menurut Asnidar terlihat dalam tiga tahun terakhir ditunjukkan dengan digelontorkannya biaya total US$300 juta untuk kegiatan di open area.

Dalam 2 tahun terakhir join study cukup banyak. “Ditunjukkan discovery yang terjadi dalam lima tahun terakhir. Ada Hidayah, Layaran, Tangkulo, Geng North. Jadi ini momentum tepat,” ungkap Asnidar.

Pemerintah saat ini tengah siapkan blok-blok migas yang bakal dilelang dari 60 area yang sedang dievaluasi. “Ada 60 area. Satgas pokja eksplorasi evaluasi untuk 3 tahun ke depan. Kita sudah kumpulkan semua progressnya mana yang kira-kira ready mana yg masih butuh data lebih lanjut. Selama ini data kontraktor. Di sini pemerintah sudah ke sana. Untuk meyakinkan analisa area banyak risiko, kita harap bisa bidding round bbrapa bulan ke depan,” kata Asnidar.

Berdasarkan data pemerintah sejauh ini terdapat 128 basin dimana baru sekitar 37% yang sudah diketahui kondisinya terdiri dari 20 basin produksi dan ada 27 basin discovery. Serta ada 65 basin yang belum digarap sama sekali dengan potensi cadangan hidrokarbon yang diyakini masih besar.

Sementara itu, Ruszaidi B Kahar, Senior Manager Exploration PETRONAS Indonesia, menuturkan bahwa PETRONAS sudah menunjukkan komitmennya untuk lebih berkontribusi secara aktif dan positif terhadap pengembangan industri energi di Indonesia. Ini ditunjukkan dengan keterlibatan PETRONAS di Indonesia selama lebih dari 20 tahun dan belakangan bahkan terus meningkat dengan total rata-rata kontribusi produksinya mencapai 20 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD).

“Kami berkomitmen untuk secara konsisten memperkuat kehadiran kami di Indonesia dan berkontribusi secara positif terhadap pengembangan industri energi nasional,” kata Ruszaidi.

Sebagai investor, PETRONAS kata Ruszaidi berpegang pada prinsip utama dalam setiap bisnis, yaitu value creation. Hal ini berkaitan erat dengan potensi migas di suatu negara, kemudahan dalam menjalankan bisnis, stabilitas nasional, kebijakan fiskal, dan kepastian hukum.

“Kami harap ada fleksibilitas dari pemerintah dari sisi fiscal term. Berdasarkan wilayah kerja misalnya ada yang low risk, high risk diberikan fiskal lebih fleksibel,” ujar Ruszaidi

Menurut dia dengan dengan banyaknya potensi yang belum dimanfaatkan ini memberikan dasar yang kuat untuk kegiatan eksplorasi dan produksi, membuat Indonesia bisa menjadi pilihan yang menarik bagi para pemain energi global yang ingin berinvestasi dalam proyek-proyek jangka panjang.

“Dari sisi country risk Indonesia termasuk beruntung karena lokasi yang strategis dan juga SDA migas yang masih berlimpah, tinggal bagaimana memonetasi dua hal tersebut. Yang diperlukan adalah dorongan dan inisiatif pemerintah untuk menarik minat investor,” kata Ruszaidi.