JAKARTA – Panas bumi seharusnya menjadi sumber daya alam yang menjadi prioritas dalam pengembangan untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT). Dengan cadangan yang besar, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan jenis EBT lain.
“Panas bumi dapat menjadi base load (beban dasar) karena tidak menghadapi masalah intermitensi. Selain itu, kita punya cadangan panas bumi cukup besar, sekitar 23,7 GW,” ujar Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, kepada media, Senin (13/6).
Komaidi mengatakan pengembangan energi primer dari energi fosil ke EBT dengan menempatkan panas bumi sebagai skala prioritas tidaklah berlebihan. Dengan sumber daya yang besar seharusnya panas bumi menjadi potensi yang mendapatkan perhatian lebih. “Pemanfaatan saat ini saja masih jauh dari jumlah cadangan yang terbukti,” ujarnya.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,965 GW. Potensi terbesarnya ada di Pulau Sumatera, yakni sebesar 9,679 GW. Meski punya potensi terbesar, kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terpasang di Sumatera baru 562 Megawatt (MW) atau 5,8% dari total potensinya. Artinya, masih ada sekitar 94% potensi yang belum digarap.
Sedangkan di Pulau Jawa, potensi panas bumi sebesar 8,107 GW. PLTP yang terpasang baru berkapasitas 1.254 MW atau 15,5% dari potensinya. Sedangkan Sulawesi dengan potensi panas bumi 3,068 GW. Namun, PLTP yang terpasang baru 120 MW atau 3,9% dari potensinya. Adapun di Nusa Tenggara, potensi panas bumi 1,363 GW dan kapasitas terpasang 12,5 MW. Sementara itu, Maluku memiliki potensi 1,156 GW, Bali 335 MW, Kalimantan 182 MW, dan Papua 75 MW. Belum ada kapasitas terpasang PLTP di keempat pulau tersebut.
Dalam RUPTL PLN 2021-2030, pembangkit EBT mencapai 20,9 GW atau 51% lebih tinggi dari energi fosil (thermal) sebesar 19,7 GW. Dari 20,9 GW itu, 10,4 GW dari PLTA dan 3,4 GW dari panas bumi. “Saya kira justru ada potensi (panas bumi) untuk dapat ditingkatkan besaran targetnya,” ujarnya.
Pakar ekonomi energi dari Universitas Trisakti itu mengatakan, meskipun panas bumi memiliki cadangan besar, tidak mudah untuk memonetisasinya. Menurut dia, kunci utama dalam penbembangan semua jenis EBT termasuk panas bumi ada di PLN karena BUMN di sektor ketanagalistrikan itu adalah pembeli tunggal atau monopsoni. Jika PLN tidak bersedia membeli dengan berbagai justifikasi, pengembang EBT tidak punya pilihan atau opsi lain untuk menjualnya.
“Salah satu upaya yang dapat dilakukan memberikan ruang agar pengembang bisa menjual listrik selain kepada PLN. Jika hal tersebut dapat dilakukan saya kira pengembangan EBT tidak hanya bergantung pada PLN,“ ujar Komaidi.
Wiluyo Kusdwiharto, Direktur Mega Proyek dan EBT PLN, menjelaskan pembangunan pembangkit EBT sangat menantang bagi PLN. Hal itu disebabkan oleh kondisi kelebihan pasokan yang dialami PLN. Dia optimistis dengan kerjasama para stakeholder dan para pihak, nantinya tumbuh permintaan (demand). Apalagi saat ini demand mulai tumbuh 8%. “Sesuai prediksi kami, ke depannya akan tumbuh signifikan sehingga dapat mengakselerasikan pembangunan pembangkit renewable baru,” ujarnya saat menjadi narasumber pada Acara Bincang-bincang METI yang merupakan rangkaian kegiatan Launching The 11th Indoensia EBTKE Conference and Exhibition 2022, baru-baru ini.
Menurut Wiluyo, panas bumi mendapatkan prioritas kedua untuk dikembangkan setelah PLTA. Dia menilai,tantangan pengembangan panas bumi yang paling terasa adalah dari sisi biaya. Untuk mengejar target RUPTL, PLN tidak bisa sendiri dan harus bekerja sama dengan pihak lain.
“Tahun 2030 pembangkitan renewable bisa meningkat 28 GW. Pembangunan geothermal kami alokasikan 3,4 GW. Butuh biaya yang sangat tinggi untuk bangun pembangkit sampai 2060. Kami buka pintu bagi pihak swasta untuk bangun bersama pembangkit-pembangkit renewable,” ujarnya.
Herman Darnel Ibrahim, mantan Direktur Transmisi dan Distribusi PLN (2003-2008), mengakui ada beberapa masalah yang dihadapi guna mengejar target EBT dalam bauran energi, antara lain teknis, regulasi dan koordinasi, serta pendanaan. Solusi mengatasi masalah dalam pengembangan panas bumi tidak bisa mengandalkan satu insititusi. “Potensi panas bumi yang besar akan percuma jika tidak bisa dimonetisasi,” ujarnya.
Menurut dia, Indonesia harus terus membangun sains dan teknologi panas bumi, tidak cukup hanya bangga punya potensi 40% dunia. Aspek regulasi pengembangan panas bumi juga harus mendukung. “Kumpulkan seluruh aturan, pusat-daerah, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Keuangan. Perbaiki semua untuk kemudahan pembangunan panas bumi,” kata Herman yang juga Anggota Dewan Energi Nasional Perwakilan Industri. (RI)
Komentar Terbaru