JAKARTA – Pesawat CN 235-220 Flying Test Bed (FTB) berhasil lakukan uji terbang perdana Bandung-Jakarta menggunakan campuran bahan bakar bioavtur 2,4 persen (J2.4). Ini dilakukan dalam rangka peningkatan implementasi pengembangan biofuel di sektor transportasi, khususnya transportasi udara.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan serangkaian uji coba terbang telah dilaksanakan pada 8 September hingga 6 Oktober 2021. Pesawat melakukan penerbangan dengan ketinggian 10.000 dan 16.000 kaki.
Produksi bioavtur dilakukan melalui sinergi penelitian antara Pertamina Research & Technology Innovation (Pertamina RTI) dan Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (PRK-ITB) dalam pengembangan katalis “MerahPutih” untuk mengkonversi minyak inti sawit menjadi bahan baku bioavtur pada 2012. Selanjutnya, kerja sama diperluas bersama PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) untuk melakukan uji produksi co-processing skala industri di Refinery Unit (RU) IV Cilacap untuk mengolah campuran RBDPKO (Refined, Bleached, and Deodorized Palm Kernel Oil) dan kerosin menggunakan katalis merah putih. Pada pengujian ini telah berhasil diproduksi bioavtur 2,4 persen-v yang disebut dengan J2.4.
Hasil pelaksanaan uji terbang menunjukkan bahwa performace engine dan indikator-indikator yang terdapat di cockpit menunjukkan kesamaan antara penggunaan bahan bakar Jet A1 dan J2.4.
“Hari ini kami telah melihat sejarah baru yaitu penerbangan perdana yang gunakan bahan bakar nabati, yang memang kami tunggu selama ini dan pagi ini dicoba jarak Bandung-Jakarta,” kata Arifin, dalam Seremoni Keberhasilan Uji Terbang Pesawat CN235-220 FTB dengan Bahan Bakar Bioavtur secara virtual, Rabu (6/10).
Menurut Arifin berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.12 Tahun 2015, pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) pada avtur ditargetkan dapat mencapai porsi 3 persen pada 2020, kemudian ditingkatkan kembali menjadi 5 persen pada 2025.
Hanya saja, kata dia, implementasinya memang belum berjalan lancar. Hal ini lantaran terkendala dari ketersediaan bioavtur, proses teknologi dan keekonomoian.
Arifin menegaskan keberhasilan uji terbang bioavtur hari ini merupakan keberhasilan tahap awal. Dia meminta kajian terus dilakukan agar seluruh maskapai di Indonesia bisa menggunakan bioavtur
“Penelitian dan pengembangan harus dilakukan untuk nantinya dihasilkan J100 dan penggunaan bioavtur untuk seluruh maskapai di Indonesia dan penerbangan mancanegara,” katanya.
Pelaksanaan pengembangan bioavtur dilakukan di Unit Treated Distillate Hydro Treating (TDHT) Refinergy Unit (RU) IV Cilacap PT Pertamina (Persero) yang menghasilkan J2.0 pada 2020 dan J2.4.
Dalam rangka memenuhi kepentingan hukum kelaikan udara, dilakukan analisa sifat fisika dan kimia dari J2.0 dan J2.4 maupun Jet A1 oleh Lemigas ESDM. Adapun sample yang dikirimkan ke Lemigas diambil dari tangki di GMF agar lebih mewakili karakteristik bahan bakar.
Proses evaluasi avtur dan bioavtur diperlukan sebelum pelaksanaan pengujian di test cell dimana hasilnya harus memenuhi ASTM D1655 dan SNI sebagai panduan limit sifat fisika jenis avtur dan bioavtur yang boleh diisikan pada tangki pesawat udara untuk digunakan dalam penerbangannya, yaitu terdiri dari freezing point, lower heating value dan specific gravity.
Hasil uji Lemigas menunjukkan bahwa produk J2.4 dapat memenuhi spesifikasi bahan bakar avtur sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Migas Nomor 35 Tahun 2021 atau dapat dikatakan secara spesifikasi produk J2.4 dapat digunakan sebagai pengganti avtur murni.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan saat ini pemerintah tengah mengupayakan agar keekonomian bioavtur J2,4 dapat terpenuhi. Salah satunya dengan memberikan insentif perpajakan berupa super deduction tax bagi korporasi yang mengembangkan bahan bakar tersebut hingga 300 persen.
“Dengan perkiraan konsumsi avtur harian sekitar 14 ribu kilo liter (KL), maka potensi pasar bioavtur J2,4 akan mencapai sekitar Rp1,1 Triliun pertahunnya,” kata Airlangga.
Menurut dia, industri kelapa sawit nasional juga telah berkontribusi menciptakan lapangan kerja. 12 juta tenaga kerja sangat bergantung pada industri ini. Industri ini juga memberikan kontribusi terbesar ekspor non migas dengan menyumbang 15 persen dari total ekspor non migas. “Ekspor kontribusi 15 persen, dan ini sumber energi bersih dan terbarukan,” ujarnya.
Komentar Terbaru