JAKARTA–Pelonjakan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) karena membludaknya masyarakat yang melakukan mudik Lebaran 2022 menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk tidak lagi ragu-ragu menjalankan kebijakan subsidi langsung dalam penyaluran BBM pasca 1 Syawal 1443 Hijriyah. Kebijakan tersebut diyakini merupakan solusi utama untuk menyelesaikan sengkarut penyaluran BBM yang sudah terjadi bertahun-tahun.
Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengatakan sudah terlalu banyak masalah yang ditimbulkan dari mekanisme penyaluran BBM bersubsidi seperti sekarang. Buktinya, pemerintah malah menambah kuota solar yang disubsidi dari 15 juta kiloliter (KL) menjadi 17 juta KL. Sedangkan pertalite yang menjadi BBM penugasan ditingkatkan kuotanya lima juta KL dari 23 juta KL menjadi 28 juta KL.
“Kebijakan pemerintah saat ini yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri,” ujar Marwan, Sabtu (30/4/2022).
Menurut Marwan, pemerintah tidak perlu membandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara yang bisa produksi mninyak dalam jumlah besar. Pemerintah hanya tinggal menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas setelah mempertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti harga bahan mentah, ada harga crude yang diimpor, ditambah biaya pengilangan, biaya penyimpanan. Belum lagi ada biaya distribusi, marign , dan pajak. “Itu menjadi harga keekonomian. Jadi merujuk kemana-mana,” katanya.
Harga keekonomian bisa dilihat dengan harga-harga BBM yang dipasarkan oleh badan usaha lain selain Pertamina. Harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah pesaing, termasuk BBM jenis solar yang disubsidi. Harga solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter sedangkan harga solar subsidi (Dexlite) Rp12.950 per liter, dan harga Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Menurut Marwan, masyarakat Indonesia harus diakui memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar. Namun bukan dengan mekanisme seperti sekarang yang justru merugikan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga menyebabkan nilainya terus membengkak.
Ketika sudah diberlakukan subsidi langsung, lanjut Marwan, tidak ada lagi pembedaan harga pada BBM yang dijual atau di pasar itu tidak adalagi harga subsidi jadi misalnya solar satu harga kalau jenisnya sama. Sama juga seperti gasoline.
“Negara harus mensubsidi orang yang memang layak mendapat sehingga nanti anggaran APBN untuk mensubsidi orang itu akan lebih rendah ketimbang mensubsidi barang yang di subsidi. Kalau barangnya yang disubsidi bisa 2-3 kali lipat,” jelas Marwan.
Menurut Marwan badan usaha juga memiliki hak untuk bertahan dan beroperasi meskipun dibebani penugasan untuk menyalurkan BBM penugasan maupun subsidi. Untuk itu cara terbaik memang membiarkan badan usaha menjalankan operasinya tanpa harus terus menanggung beban keuangan.
“Soal berapanya bisa dicarikan angka harga keekonomiannya juga bisa. Yang penting disitu sudah ada margin supaya perusahaan survive, seperti Pertamina. Untuk survive kan harus untung tapi di situ kan ada faktor pajak, pajak daerah, ongkos angkut, Dan sebagainya. Sebenarnya formulanya sudah ada. Yang saya maksud itu supaya harga keekonomian yang diterapkan. Dan subsidinya langsung,” kata Marwan. (RA)
Komentar Terbaru