JAKARTA – International Energy Agency (IEA) memprediksi permintaan tahunan komoditas nikel kelas 1 pada 2030 akan mencapai 925 kilo ton per tahun berdasarkan stated policies scenario dan 1.900 kilo ton per tahun berdasarkan sustainable scenario.

Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yakni 23,7% dari total cadangan dunia. Tiga daerah dengan kandungan nikel terbesar,
yakni Sulawesi Tenggara (32%), Maluku Utara (27%), dan Sulawesi Tengah (26%).

“Indonesia, memiliki deposit nikel di Indonesia berjenis laterit dengan kadar nikel yang lebih rendah dibanding nikel sulfida. Cadangan nikel dunia saat ini terdiri dari 60% nikel laterit dan 40% nikel sulfida,” ungkap Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Kamis (4/2).

Pius mengatakan, produk komponen baterai berbasis nikel Indonesia akan berperan penting dalam rantai suplai global kendaraan listrik. Setidaknya, ada sembilan  pabrik dengan 40% penjualan kendaraan listrik gobal berpeluang memperoleh pasokan baterai di Indonesia.

Dia menambahkan meski kendaraan listrik dinilai ramah lingkungan, pertambangan nikel yang menjadi salah satu komponen baterai berpotensi akan merusak lingkungan jika dilakukan eksploitasi secara besar-besaran.

Pasalnya nikel Indonesia banyak terdapat di lapisan permukaan bumi, sehingga pertambangan terbuka pasti memangkas tutupan hutan.

Produksi yang kotor juga mempersulit serapan nikel baterai Indonesia di pasar global. Produsen baterai dan kendaraan listrik lebih sensitif pada isu lingkungan, terlihat dari pembentukan aliansi
perusahaan untuk memastikan kebersihan rantai suplai dari hulu ke hilir kendaraan listrik.

Pius menekankan bahwa tanpa produksi nikel yang bersih, hanya akan mengulang pola serupa yang memicu krisis iklim hari ini, yaitu eksploitasi berlebih sumber daya alam di negara berkembang untuk memenuhi pola konsumsi di negara lebih maju.

“Kendaraan listrik sebenarnya akan lebih rendah emisi, namun perlu kebijakan dalam penggunaannya,” ujar Pius.

Menurut Pius, perlu pembatasan dalam eksploitasnya sehingga limbahnya seperti tailing dapat dikelola dengan baik tanpa membuat ke laut. Juga penghindaran energi non fosil khususnya batu bara perlu dikedepankan agar produk nikel bateri Indonesia berkontribusi dalam pencapaian netral karbon global dan nasional.

Jika kebutuhan nikel ini untuk pemenuhan transportasi pribadi, maka kebutuhannya akan sangat tinggi.

Menurut Pius, pihakya mendukung untuk pengembangan kendaraan listrik namun merusak lingkungan. Perlu adanya pengembangan untuk kendaraan publik, sehingga terjadi perubahan budaya konsumsinya.

“Kami berharap penelitian ini menjadi pertimbangan bagi pengampu kebijakan dan investor dalam merumuskan hilirisasi industri baterai berbasis nikel untuk kendaraan listrik di Indonesia
sembari tetap memperhatikan standar keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal,” tandas Pius.(RA)