JAKARTA – Wabah virus corona atau Covid-19 telah berdampak signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi listrik PT PLN (Persero). Untuk menghindari kerugian, maka renegosiasi kontrak jual beli listrik menjadi pilihan utama. Salah satu renegosiasi yang harus segera dilakukan adalah terhadap proyek pembangkit 35 ribu megawatt (MW).
M. Abrar Ali, Ketua Umum Serikat Pekerja PLN, mengatakan renegosiasi kontrak adalah pilihan logis saat ini untuk menghindari kerugian lebih besar bagi PLN. Namun renegosiasi tidak bisa dijalankan dengan tanpa perhitungan. Untuk itu harus diperhatikan keputusan yang adil bagi semua pihak, termasuk para produsen listrik yang menjadi mitra PLN.
“Strategi untuk masuk ke ranah renegosiasi perlu disiapkan secara matang oleh direksi PLN agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi para pihak. Dengan begitu penyediaan tenaga listrik dapat dijalankan secara berkesinambungan,” kata Abrar di Jakarta, Selasa (14/4).
Menurut Abrar, saat ini dengan wabah virus Covid-19 dan penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) banyak kegiatan di sektor industri dan bisnis yang tidak beroperasi dengan normal karena sebagian atau bahkan seluruh tenaga kerjanya harus bekerja dari rumah (Work From Home/WFH). Tentu saja ini akan berdampak pada turunnya penjualan atau pemakaian tenaga listrik yang diperkirakan bisa mencapai 6%-9% dan akan menggerus penerimaan kas PLN.
“Belum lagi dengan adanya kebijakan pemberian token gratis bagi pelanggan listrik prabayar juga akan berdampak pada tertundanya penerimaan kas PLN. Di sisi lain beban operasi yang harus ditanggung PLN juga terus naik, terutama akibat melemahnya nilai tukar rupiah,” ungkap Abrar.
Abrar mengatakan kerja sama antar stakeholder harus bisa terjalin pada masa seperti ini, baik itu antara pemerintah dan PLN maupun PLN dengan para mitra. Pasalnya, pertaruhannya juga kelangsungan penyaluran listrik bagi masyarakat luas.
“Untuk itu SP PLN meminta dukungan dari seluruh mitra kerja PLN (swasta/BUMN), pemerintah dan DPR untuk bekerja sama menjaga kesinambungan industri ketenagalistrikan Indonesia,“ ujar Abrar.
Selain itu, manajemen internal PLN juga perlu melakukan evaluasi ulang apakah investasi secara massif masih relevan dengan perlambatan pertumbuhan yang akan terjadi di tahun ini dan beberapa tahun ke depan. Kontrak energi primer, kontrak pengadaan material dan konstruksi juga merupakan hal-hal yang harus disoroti dan diperhatikan direksi PLN untuk menyelamatkan keuangan PLN ke depan.
Menurut Abrar, sebagai BUMN, PLN dalam kondisi normal bisa saja meminta kepada pemerintah suntikan dana untuk menyelamatkan keuangan PLN. Hanya saja kondisi sekarang fokus keuangan negara pasti diperuntukkan untuk penanganan wabah Covid-19. “Dengan kondisi saat ini tentu saja pemerintah membutuhkan dana ekstra untuk hal-hal yang lebih penting lainnya,” tukasnya.
PLN juga diketahui sudah mengajukan kahar kepada PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Dengan kondisi kahar maka tidak ada kewajiban bagi PLN membayar denda apabila tidak menyerap gas untuk kebutuhan pembangkit listrik sesuai dengan kontrak awal.
Merosotnya kinerja operasional PLN sudah terasa pada kuartal I tahun ini. Hingga Maret pertumbuhan penjualan listrik PLN melambat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Hingga Maret, realisasi penjualaan listrik PLN sebesar 61,15 TWh atau hanya tumbuh 4,61% dari realisasi 2019 yang sebesar 58,46 TWh. Padahal pada kuartal I 2019 pertumbuhannya bisa mencapai 5,48%. Perlambatan ini dipicu oleh menurunnya konsumsi sektor bisnis dan industri sepanjang tiga bulan pertama tahun 2020.(RI)
Komentar Terbaru