JAKARTA – PT Freeport Indonesia (PTFI) diminta menyudahi polemik untung rugi pembangunan pengolahan mineral atau smelter. Perusahaan tambang emas dan tembaga yang beroperasi di Papua itu harus memenuhi komitmen jalankan undang-undang.
Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), mengungkapkan sikap Freeport sangat aneh karena setelah sekian tahun sengaja ditunda-tunda tidak segera realisasikan kewajiban bangun smelter justru sekarang baru bersuara rugi.
“Kita berharap vokalnya Freeport ini tidak alibi untuk menunda lagi melanjutkan proses pembangunan smelter, bagaimanapun juga ini kewajiban yang sudah tertuang dalam kontrak karya dan UU, jadi harus konsisten dilaksanakan,” kata Bisman kepada Dunia Energi, Rabu (9/9).
Selain itu, menurut Bisman, smelter sudah jelas merupakan kewajiban Freeport sejak sebelum divestasi sehingga Freeport dengan pemegang saham McMoran lah yang harus bertanggungjawab. “Jangan kalau rugi dilimpahkan ke Indonesia, ke Mind ID,” ujar Bisman.
Tony Wenas, Presiden Direktur PTFI menyatakan biaya investasi pembangunan smelter mencapai US$ 3 miliar yang harus dibagi porsi biayanya dengan para pemegang saham, termasuk oleh MIND ID.
Tony Wenas, Presiden Direktur Freeport Indonesia, menyatakan secara bisnis bagi Freeport pembangunan smelter tidak ada keuntungan dan hanya akan menambah beban perusahaan. Proses penambangan yang dimulai dari bijih kemudian diolah menjadi konsentrat tembaga. Nilai tambah konsentrat mencapai 95%. Sementara itu, pengolahan dari konsentrat menjadi katoda tembaga yang dilakukan di smelter nilai tambahnya hanya 5%.
Pemasukan smelter hanya mengandalkan Treatment Charge and Refining Charge (TCRC). Sementara harga TCRC selama 20 tahun sampai sekarang yang berlaku di seluruh dunia berkisar di angka US$20 cent-US$ 24 cent per ton tembaga. “Ya memang rugi, kalau proyek rugi saya bilang untung kan menyesatkan,” kata Tony
Freeport telah berjanji ketika diberikan perpanjangan kontrak pengelolaan tambang Grasberg dengan berubah jenis kontraknya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yaitu menyelesaikan pembangunan smelter yang telah ditetapkan, yakni pada 2023.
Selain itu dalam UU Mineba No 3 Tahun 2020 telah diatur dalam pasal 170A Pemegang KK, IUP Operasi Produksi, atau IUPK Operasi Produksi Mineral logam yang telah melakukan kegiatan Pengolahan dan Pemurnian; dalam proses pembangunan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian; dan/atau telah melakukan kerjasama Pengolahan dan/atau Pemurnian dengan pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi lainnya, atau IUP Operasi Produksi khusus untuk Pengolahan dan Pemurnian atau pihak lain yang melakukan kegiatan Pengolahan dan/atau Pemurnian, dapat melakukan Penjualan produk Mineral logam tertentu yang belum dimurnikan dalam jumlah tertentu ke luar negeri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. (RI)
Komentar Terbaru