JAKARTA – PT Pertamina (Persero) berencana mulai menerapkan “Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) Bahan Bakar Minyak (BBM)” dengan “Smart Card” pada Juli 2013 di Jakarta, dilanjutkan ke provinsi lain secara bertahap di seluruh Indonesia hingga Juni 2014.
Latar belakang diterapkannya SMP BBM ialah tingginya subsidi BBM, yang memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Guna menekan penggunaan BBM subsidi yang tidak tepat sasaran, pemerintah membutuhkan metode monitoring dan pengendalian BBM bersubsidi.
Pertamina selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapat tugas PSO (Public Service Obligation) menyalurkan BBM bersubsidi, membutuhkan sistem dengan metode teknologi informasi dalam memonitor penyaluran BBM bersubsidi, agar tepat sasaran.
Kesimpulan rapat kerja Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi (Migas), dan Direktur Utama Pertamina pada 3 Desember 2012, merekomendasikan agar pemerintah menyiapkan Sistem Monitoring dan Pengendalian BBM PSO secara online.
DPR meminta, sistem monitoring dan pengendalian BBM PSO itu, dilaksanakan Pertamina online sampai ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Sistem monitoring dan pengendalian yang dijalankan, harus dapat diakses secara real time (saat itu juga) sehingga menjamin azas accountable dan good governance.
Setelah melalui pembahasan beberapa bulan, pemerintah kemudian mematangkan rencananya untuk menerapkan “Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) BBM” dengan cara memberlakukan “Smart Card” kepada semua kendaraan pengguna BBM bersubsidi. Secara otomatis Pertamina selaku BUMN yang ditugasi menyalurkan BBM bersubsidi, ditunjuk sebagai pelaksana program ini.
“SMP BBM adalah sistem komputerisasi yang merekam data-data transaksi BBM di SPBU secara real time,” jelas Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, dalam workshop dan sosialisasi penerapan SMP BBM di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2013.
Menurutnya, penerapan SMP BBM ini dijadwalkan untuk dimulai pada Juli 2013 di wilayah Jakarta. Dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, provinsi-provinsi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, hingga terakhir di Papua pada Juni 2014.
Terdiri dari 2 Fase
Ali pun menjelaskan, penerapan SMP BBM mulai Juli mendatang, terdiri dari dua fase. Pertama adalah “Fase Monitoring”, dan kedua adalah “Fase Pengendalian”. Sejak Fase Monitoring, diyakini sudah bisa dilakukan pengendalian BBM PSO atau BBM bersubsidi secara terbatas.
Pada Fase Monitoring, yang dilakukan adalah merekam semua data transaksi BBM bersubsidi . Data transaksi yang dapat direkam oleh SMP BBM adalah data-data transaksi konsumsi BBM, dan data-data transaksi pelanggan.
Data transaksi konsumsi BBM terdiri dari: transaksi penjualan per produk, per dispenser, per nozzle, per periode waktu, lokasi SPBU, dan jumlah transaksi. Sedangkan data transaksi pelanggan terdiri dari: identitas kendaraan pelanggan (Nomor Polisi), identitas pelanggan (nama dan alamat), perilaku pembelian pelanggan (volume, waktu, frekwensi pembelian, lokasi SPBU) dan sebagainya.
Selanjutnya fase kedua, yakni “Fase Pengendalian”, setiap kendaraan mendapat “smart card” yang berisi volume kuota bulanan konsumsi BBM PSO (BBM bersubsidi). Dalam sistem ini, top-up kuota (kuota maksimal) akan dilakuan secara otomatis oleh sistem setiap bulan.
Jika kuota bulanan itu sudah habis sebelum masanya, konsumen tidak bisa mengisi BBM bersubsidi. Konsumen tetap dapat mengisi BBM, namun BBM Non Subsidi seperti pertamax, pertamax plus, pertamina dex, dan sebagainya. Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat melakukan pengaturan volume dan frekuensi dalam pengisian BBM.
(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)
Komentar Terbaru