JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dinilai tidak tegas menghadapi PT Chevron Pacific Indonesia dalam proses transisi alih kelola Blok Rokan. Padahal, kontrak Chevron di Rokan akan berakhir pada 2021 dan kemudian akan diambil alih PT Pertamina (Persero).
Gus Irawan Pasaribu, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan sebagai kepanjangan tangan negara, SKK Migas jelas memiliki kewenangan dalam transisi Rokan. Sayangnya, SKK Migas terkesan justru didikte Chevron. “SKK Migas dengan kewenangannya harus bisa (menjalankan proses transisi). Chevron harusnya menunjukkan itikad baik,” kata Gus kepada Dunia Energi, baru-baru ini.
Selain itu, SKK Migas juga memiliki pekerjaan tidak kalah penting lainnya yakni memastikan program Enhance Oil Recovery (EOR) di Rokan bisa dilanjutkan Pertamina. Disisi lain, Chevron diingatkan untuk mengimplementasikan teknologi EOR yang sudah dibayar negara melalui cost recovery. “Untuk itu SKK Migas juga harus tegas, Karena jika tidak, hal ini bisa menjadi masalah di kemudian hari. Jika tidak ada hasilnya, kan dapat dikategorikan sebagai kerugian negara,” kata Gus Irawan.
Pertamina sebelumnya mengaku harus kembali bernegosiasi dengan Chevron untuk bisa melakukan EOR di Rokan karena formula dalam melakukan EOR kimia menjadi hak paten Chevron.
Pemerintah seolah tidak berdaya dalam transisi Blok Rokan, setelah tidak mampu menengahi proses pembahasan antara Pertamina dan Chevron selama beberapa bulan terakhir. Kini pemerintah justru meminta Chevron untuk yang melakukan investasi, terutama pengeboran agar produksi tidak terus anjlok. Hal ini tentu berdampak pada realisasi produksi Blok Rokan yang diprediksi akan semakin menurun.
Investasi lebih awal diperlukan di Blok Rokan, bukan hanya untuk menahan laju penurunan produksi alami yang diprediksi akan cukup besar pada tahun ini. Investasi juga diperlukan untuk menjaga kondisi reservoir yang ada di Blok Rokan agar decline rate tidak semakin besar. Jika tidak, nantinya pekerjaan Pertamina akan semakin sulit untuk menahan laju penurunan produksi setelah resmi menjadi operator pada Agustus 2021.
Tahun lalu saja, dengan ketiadaan kegiatan masif di Rokan realisasi lifting minyak turun jika dibanding 2018. Tahun lalu lifting minyak Rokan hanya 190 ribuan barel per hari, turun sekitar 10 ribu barel per hari dibanding 2018 yang masih sekitar 200 ribuan barel per hari. Tahun ini produksi blok Rokan ditargetkan hanya sekitar 160 ribuan bph.
Manajemen Chevron mengaku tidak ada rencana untuk melakukan pengeboran pada tahun ini melanjutkan rencana kerja tahun lalu. Itu berarti Chevron terakhir kali melakukan pengeboran pada 2018. Hal ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri bagaimana SKK Migas dalam Work Plan and Budget (WP&B) justru mengizinkan Chevron tidak melakukan investasi pengeboran.
Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan tidak perlu ada yang disalahkan dari kondisi transisi di Blok Rokan sekarang. Hal ini merupakan dampak dari kontrak yang disepakati antata pemerintah dan Chevron dulu. Kontrak PSC yang berlaku di Indonesia dapat dikatakan memang tidak mengatur untuk dapat dilakukannya proses transisi yang mulus.
“Sementara semua pihak pasti mengacunya kepada kontrak yang ada tersebut. Jadi, tidak ada juga yang bisa disalahkan sebenarnya dalam hal ini. Mungkin malah dapat dikatakan (penurunan) sebagai suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari,” kata Pri Agung.(RI)
Jgn bodoh2 amat kalo berkomentar, lihat Kontrak PSC bagaimana.