JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) terbuka untuk membahas perubahan skema kontrak yang saat ini digunakan blok Rokan. Sejak alih kelola dari Chevron, Pertamina Hulu Rokan (PHR) sebagai pengelola blok Rokan menggunakan skema Gross Split.

Bennny Lubiantara, Deputi Eksplorasi, Pengembangan, Menajemen Wilayah Kerja SKK Migas, mengungkapkan wacana perubahan skema kontrak blok Rokan dari gross split ke cost recovery memang sudah ada dan SKK Migas sudah siap membahasnya bersama dengan Pertamina.

“Kalau PHR (blok Rokan) sudah siap dibahas. Kami di SKK Migas siap aja. Memang WK Rokan masih relatif baru menggunakan gross split (2021), dibanding wilayah kerja gross split di PHE yang lain yang sudah sejak 2017 dan 2018,” kata Benny kepada Dunia Energi, Kamis (4/7).

Skema kontrak gross split sendiri diperkenalkan pemerintah belum lama ini. Melalui sistem ini maka seluruh biaya operasi menjadi tanggung jawab penuh dari Pertamina. Sebagai konsekuensinya, bagi hasil yang diterima oleh Pertamina menjadi lebih besar. Namun demikian dengan tingkat risiko yang sangat tinggi dalam industri hulu migas skema ini tentu bagi kontraktor menambah persentase risiko bagi kontraktor.

Sebaliknya melalui skema cost recovery risiko tinggi itu bisa dibagi dengan pemerintah. Ini yang dinilai lebih membuat para kontraktor mau berinvestasi.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan bisa saja blok Rokan berubah skema kontraknya tapi tetap harus memenuhi syarat.

“Kalau prospek bagus dan bagian pemerintah lifting naik, kan boleh kalau lifting naik,” kata Arifin ditemui di Jakarta belum lama ini.

Fleksibilitas yang diberikan pemerintah ini bertujuan untuk mendorong investasi di sektor hulu migas. Arifin pernah mengakui ada saja kontraktor yang tidak serius untuk berinvestasi lantaran tidak mendapatkan jaminan pengembalian biaya.