JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai pemanfaatan shale gas berisiko mengancam kualitas air tanah, dan bakal menghambat upaya pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.
Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Pius Ginting mengungkapkan, shale gas adalah gas alam non konvensional yang sebagian besar terdiri dari metan, dan keterdapatannya berada di reservoir pada batuan shale (liat, red). Shale adalah batuan sedimen terbentuk dari pemadatan lumpur, liat dan batuan halus lainnya.
Hal ini, ujarnya, membuatnya shale gas sulit diekstraksi, karena batuan shale sulit ditembus (non permeable). Alhasil, untuk ekstraksinya digunakan proses yang dikenal dengan peretakan (hydraulic fracture atau fracking).
Fracking, kata Pius Ginting, dilakukan pada pemboran dalam (umumnya 1,5 hingga 6 km) ke dalam bumi, secara vertikal atau horizontal, yang disertai injeksi air, bahan butiran seperti pasir (proppant) dan bahan kimia-kimia, termasuk bahan yang sangat memicu kanker seperti benzene dan formaldehyde.
“Injeksi yang dilakukan pun harus menggunakan tekanan tinggi, agar dapat merekahkan shale dan memaksa gas keluar lewat pori-pori dalam batuan ke dalam sumur produksi,” paparnya di Jakarta, Senin, 15 Juli 2013.
Dalam proses memproduksi shale gas, lanjutnya, air limbah yang terkontaminasi dengan bahan kimia perekahan dan bahan polutan alami seperti logam berat, akan muncul ke permukaan. Setiap sumur produksi biasanya menurun setelah 18 bulan karena konsentrasi gas menurun. Akibatnya operator membuat lubang lain disekitar yang pertama.
Mengutip Badan Energi Internasional (IEA), Pius mengatakan bahwa lapangan gas konvensional mungkin hanya perlu kurang dari satu sumur per 10 km persegi. Namun untuk lapangan gas unkonvensional, dibutuhkan lebih satu sumur per km persegi, sehingga sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan penduduk setempat.
Pius juga mengatakan, ekstraksi shale gas membutuhkan air banyak, sehingga menimbulkan ancaman kekeringan pada daerah sekitarnya, terlebih pada musim kemarau. Setiap operasi fracking menggunakan sekitar 15 juta liter air. Air untuk sebuah sumur bisa setara dengan air untuk wilayah perkotaan seperti Jakarta untuk sekitar 1.000 tahun.
Ditambah lagi, kata Pius, proses fracking menggunakan sejumlah bahan kimia toksik. Industri migas biasa menyatakan cairan yang diinjeksikan umumnya terdiri 98% – 99,5% air. Bila standar sebuah sumur shale gas membutuhkan 15 juta liter air, berarti bahan kimia berbahaya yang digunakan berton-ton.
“Cairan kimia fracking bisa terdiri dari 300 bahan, dan 40% diantaranya dikenal mengganggu sistem hormonal, sepertiganya penyebab kanker, dan 60% diantaranya dapat merusak otak dan sistem saraf,” papar Pius lagi.
Maka dari itu, menurutnya Walhi menentang upaya Indonesia mengembangkan shale gas. Karena pengembangan shale gas merupakan ancaman serius bagi kesehatan dan lingkungan, terutama terhadap kualitas air tanah. “Selain itu, investasi shale gas akan menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” ucapnya.
Jika Indonesia mulai mengeksplorasi shale gas, tuturnya, maka negara ini kian terkunci dan ketagihan pada energi fosil. Padahal, penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesia, adalah dari pembakaran energi fosil.
Di sisi lain, ungkap Pius, target pemerintah untuk pengembangan energi terbarukan masih rendah, kurang dari 10 % pada tahun 2025 . Target ini pun kian sulit dicapai bila investasi justru dilakukan pada shale gas, bukan di energi terbarukan.
“Walhi menilai, Indonesia dengan perusahaan negara di sektor energi yang dimilikinya, seharusnya menjadi yang terdepan dalam pengembangan energi terbarukan, agar target pemerintah untuk pengurangan emisi gas rumah kaca bisa tercapai. Pengembangan shale gas perlu dikaji ulang atau dibatalkan,” pungkasnya.
Dunia Energi mencatat, pengembangan shale gas merupakan tren terbaru pengembangan energi di dunia saat ini. Negara-negara maju seperti China dan negara-negara di Eropa serta Amerika, sudah mulai mengembangkan dan memproduksikan shale gas.
Amerika Serikat saat ini merupakan negara yang paling besar memanfaatkan shale gas. Negara adidaya ini telah mampu memproduksi shale gas sebesar 27 miliar kaki kubik per hari, atau sama dengan 27 juta mmbtu.
Indonesia termasuk negara yang memiliki cadangan shale gas dalam jumlah lumayan besar, dan kini sedang dikembangkan salah satunya oleh Pertamina. Sejumlah investor asing pun telah menyatakan minat untuk mengembangkan shale gas di Indonesia.
(Abdul Hamid / duniaenergi@yahoo.co.id)
Kalo ada yang ngebor sumur, terus keluar semburan gas metana, bisa dipastikan itu dampak dari penerapan fraking shale gas di sekitarnya.