DERU mesin terdengar memecah kesunyian Dusun Kedawung di Desa Tanjung yang masih dikelilingi petak-petak sawah tak berujung. Selain meraung tidak karuan mesin juga mengeluarkan hawa panas tidak biasa yang semakin terasa lantaran mesin ditempatkan di ruangan khusus berkapasitas satu orang sebagai operator mesin.
Sang operator dengan cekatan melemparkan dengan asal adonan warna warni dalam berbagai bentuk ke dalam corong mesin. Tidak perlu menunggu lama, hanya beberapa detik operator buru-buru mengambil alat mirip sendok raksasa dan menggaruk-garuk bagian dalam mesin. “Nggak boleh lama-lama, sebentar aja nanti gosong,” kata sang operator mesin sambil setengah berteriak untuk mengimbangi raungan mesin.
Adonan tadi dalam sekejap telah berubah menjadi makanan yang populer di sepanjang pantai utara (Pantura)Jawa yang menjadi lebih populer saat musim mudik lebaran dan biasanya tergantung di motor-motor pemudik. Anda tentu tidak asing dengan dengan Kerupuk Miskin yang jadi salah satu oleh-oleh favorit bagi anda yang melintas kawasan jalur pantura.
Mesin yang suaranya mengganggu telinga tersebut adalah alat pengganti penggorengan pasir yang biasa digunakan untuk membuat Kerupuk Miskin. Pantas bunyi mesin juga berbeda, ada pasir di dalamnya.
Jubaedah adalah satu-satunya operator mesin penggorengan. Dia dipercaya mengemban tugas tersebut karena memang hanya dia yang mengerti pengoperasian mesin. Ia juga koordinator ibu-ibu lainnya yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Kenanga dalam memproduksi Kerupuk Miskin.
Di ruangan sebelah asap mengebul dari pemanggang keluar bersamaan dengan lempeng-lempeng adonan sudah cukup dipanggang. Bergeser sedikit, ada sisi ruangan lebih teduh dengan tiga orang ibu-ibu didalamnya sibuk siapkan bahan dasar adonan sebelum melalui proses pemanggangan.
Adonan kerupuk sendiri terbuat dari bahan-bahan sederhana mulai dari tepung tapioka, bawang putih, garam dan bumbu dapur lainnya. Hampir setiap hari secara bergantian 3-4 anggota KWT Kenanga akan siapkan adonan. Waktu produksi kerupuk tidak terlalu lama hanya meEmakan waktu sekitar empat jam dari pukul 8 pagi hingga 12 siang.
Pembuatan adonan juga tidak terlalu sulit. Semua bahan dicampur lalu dicetak dan setelah itu dipanggang selama beberapa menit. Proses kemudian dilanjutkan dengan penjemuran selama sehari baru keesokan harinya siap untuk proses penggorengan.
Jubaedah menceritakan setiap harinya KWT Kenanga rata-rata bisa mengolah 8-10 kilogram adonan yang bisa menjadi 100an bungkus kerupuk yang dipasarkan tidak hanya di wilayah Karawang tapi sampai ke Cikampek hingga perbatasan Subang dengan harga Rp 5 ribu per bungkus.
Jubaedah yang akrab disama Emak Edah menceritakan dengan ongkos produksi sekitar Rp 300 ribu dalam sehari biasanya keuntungan bisa sekitar Rp 100 ribu dan langsung dibagikan ke para anggota yang sehari sebelumnya memproduksi kerupuk. “Sehari ya rata-rata dapat Rp 20 ribu seorang, itu langsung dikasih aja kan memang untuk tambah-tambah keperluan sehari-hari,” kata dia belum lama ini kepada Dunia Energi.
Teti adalah salah satu anggota terbaru KWT Kenanga. Ia mengaku berinisiatif bergabung dengan Emak Edah dan KWT Kenanga karena mendengar kisah sukses dari ibu-ibu lainnya. Suami Teti adalah seorang buruh tani yang pemasukannya maksimal Rp 40 ribu – Rp 50 ribu sehari.
“Saya bilang sama Emak Edah, buat tambah-tambahan . alhamdulilah memang kebantu banged bisa Rp 20 ribu sehari buat bantu-bantu suami juga,” ujar Teti.
Sama halnya dengan Teti, Njas yang kini telah menjanda sempat bingung bagaima caranya mendapatkan pekerjaan saat usianya tidak lagi muda. Tanpa berpikir panjanga ajakan EEmak Edah pada akhir tahun lalu langsung diiyakan. “Waktu diajak saya langsung mau. Alhamdulilah jadi ada pemasukan, ada kerjaan,” cerita Njas.
Bersama KWT Kenanga para Srikandi desa Tanjung, Karawang membuktikan bahwa dengan semangat dan kemauan kemudian didukung dan dikelola dengan baik maka kemandirian ekonomi bisa terwujud.
Emak Edah adalah “Ruh” KWT Kenanga, ia megumpulkan ibu-ibu di sekitar rumahnya untuk lebih produktif lantaran tidak mau melihat mereka bergantung kepada suami yang mayoritas adalah para buruh tani yang penghasilannya pas-pasan. Mayoritas anggota KWT Kenanga sendiri memang kebetulan adalah para janda.
“Saya tuh mau biar ibu-ibu di sini nggak kaya rentenir, kerjaannya minta uang aja ke suaminya, nah kalau suami udah nggak ada gimana? Makanya ini juga kebanyaka jadinya janda, mereka bilang perlu pemasukan yaudah ayo sama-sama kita kerja bareng,” cerita Emak Edah.
Pengalaman hidup Emak Edah jadi salah satu pemicu keaktifannya mencari cara untuk bisa mandiri ekonomi dan tidak mau bergantung pada orang lain. Emak Edah sempat lama bekerja sebagai buruh pabrik di wilayah Tangerang, tapi dia diberhentikan pada tahun 2000. Dari situ ia kembali ke kampung halaman di Karawang. Cobaan makin kencang melanda ia dan keluarganya ketika suami, Ajis juga ikut di PHK dari tempat kerjanya. Tidak mau berlama-lama meratapi keadaan Emak Edah mulai berbagai usaha untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
Harapan mulai ada ketika Emak Edah mulai melirik jamu. Tidak sengaja Emak mendapatkan ilmu pembuatan jamu dari tentangga, ia pun mencoba meracik jamu memanfaatkan momen absennya tetangga penjual jamu yang kembali ke kampung halaman. Emak Edah tidak mau produknya meluncur ke pasar asal-asalan. Beberapa kali survei dilakukan untuk mengetahui harga jual yang pas. “Saya cari ilmu jualannya, tanya-tanya harga nyeduh di tempat lain,” cerita Emak Edah.
Jamu Emak Edah mulai mencuri hati masyarakat, tidak hanya di desanya tapi juga di desa sekitar. Emak Edah tidak mau sendirian usaha jamunya berjalan stabil. Dia kemudian berinisiatif meminta bantuan ke dinas pangan agar warga di sekita tempat tinggalnya juga bisa ikut memproduksi jamu secara berkelompok. Emak Edah disarankan untuk membentuk KWT sebagai legalitas resmi sehingga berbagai progam bantuan, penyuluhan dalam mendiri berusaha bisa didapatkan.
Pada awalnya KWT Kenanga memang memproduksi jamu tapi kemudian Emak Edah mencoba bisnis lain yakni Kerupuk Miskin. Pasar jamu yang telah terbentuk dimanfaatkan sehingga menjadi target pemasaran kerupuk KWT Kenanga. Alhasil kerupuk KWT Kenanga tidak sulit menjadi pilihan masyarakat dan justru jadi produk utama KWT Kenanga saat ini. Inovasi dilakukan dengan menambah varian rasa kerupuk memanfaatkan sumber daya lokal desa Tanjung yakni daun Kelor yang dalam perjalanannya juga disambut positif. Menurut Emak ide untuk membuat kerupuk dari daun Kelor memang murni keinginannya untuk bisa menciptakan sesuatu yang berbeda dari produk sejenis. “Apalagi daun Kelor kan banyak di sekitar sini pada tumbuh aja bebas, nah dicoba ternyata hasilnya bagus. Bisa diterima sama konsumen,” kata Emak sambil tersenyum.
Dinas pangan desa Tanjung sambut positif capaian KWT Kenanga. Tapi ada evaluasi yang diberikan dan wajib untuk segera dibenahi yaitu perlu adanya peningkatan kualitas kebersihan lantaran KWT Kenanga memproduksi makanan, sehingga kebersihan tempat produksi jadi syarat utama.
Evaluasi tersebut hampir membuat semangat Emak Edah dan anggota KWT Kenanga luntur, maklum keterbatasan dana dan modal membuat KWT Kenanga belum siap jika harus membangun rumah produksi baru.
Angin berubah drastis ketika PT Pertamina Gas (Pertagas) turun tangan. Diam-diam ternyata anak usaha PT Perusahan Gas Negara (PGAS) Tbk atau PGN sudah mengamati sepak terjang Emak Edah dan KWT Kenanga.
Zainal Abidin, Manager Communication, Relation, dan CSR PT Pertamina Gas mengungkapkan berdasarkan mapping yang dilakuan manajemen kegiatan KWTKenanga memang sesuai dengan kriteria untuk menjadi mitra binaan Pertagas. Ide untuk memajukan masyarakat dari Emak Edah kata dia juga sejalan dengan visi misi perusahaan yang mau tumbuh berkembang bersama masyarakat, sehingga bantuan rumah produksi dan mesin penggorengan tidak ragu diberikan.
Lebih lanjut Abidin menjelaskan bahwa KWT Kenangan menjadi bagian dari program Kawat Cinta (Kelompok Wanita Capai Impian dan Cita-cita) yang diinisasi sejak tahun 2018. Program ini memiliki roadmap selama lima tahun untuk membentuk komunitas yang mandiri. Pada tahun 2018 dimulai dengan pemetaan potensi pengembangan program dan penjajakan calon mitra binan. Dilanjutkanpada tahun 2019 dengan beberapa kegiatan yakni dengan inisiasi mitra binaan UMKM, menyelenggarakan FGD penyusunan program seta memasukan ide Emak Edah tentang pemanfaatan bahan alami berupa daun kelor sebagai bahan baku makanan olahan.
Memasuki tahun 2020 fokus kegiatan ada di optimalisasi sarana dan prasran home industry, adainovasi produk Emakanan olahan berbasis potensi lokal, sertifikasi PIRT dan BPOM, uji kandungan gizi produk serta pembentukan Taruna Tani kawasan rumah pangan lestari. Taruna ini nantinya akan beranggotakan generasi milenial desa Tanjung yang akan membantu dalam memasarkan berbagai produk UMKM desa dengan memanfaatkan teknoklogi informasi.
Tahun depan diharapkan program Kawat Cinta bisa bersinergi dengan program BUMDes dari pemerintah. Inisiasi galeri produk mitra binaan, dan perluasan pemasaran produk. Lalu di tahun terakhir pendampingan dalam road map atau tahun 2022 sudah ada rintisan program zero waste, replikasi program menjadi percontohan desa mandiri baru kemudian Pertagas menarik diri dari pendampingan.
“Untuk tahun ini target yang dicanangkan adalahpeningkatan jumlah produksi, tempat produksi sudah memenuh standar kelayakan dan pengembangan poduk bau dan peningkatan harga jual,” jelas Abidin
Program Kawat Cinta dan KWT Kenanga tidak lolos dari serangan covid-19. Untuk itu Pertagas dan mitra binaan turut serta merespon pandemi. Pertama adalah mitigasi terdiri dari kordinasi yang dilakukan melalui daring dan penyesuaian jadwal dan penerapan protocol covid. Lalu rehabilitasi dengan memastikan adanya off taker jamu, masker dan goodie bag. Untuk dua produk terakhir yang disebutkan merupakan dua produk baru yang dikembangkan KWT Kenanga yang dibeli Pertagas untuk disumbangkan ke masyarakat desa.
Nita Amelia Herlinda Lurah Desa Tanjung saat dihubungi Dunia Energi mengaku kehadiran KWT Kenanga sangat bermanfaat di desa yang dipimpinnya. Apalagi apresiasi lebih wajar diberkan karena KWT Kenanga digerkan oleh sebagian besar kaum perempuan. “Senang sekali ada KWT. Alhamdulilah kami terbantu adanya KWT, Ibu-ibu juga terbantu ada pekerjaan jadinya,” ujar dia kepada Dunia Energi.
Nita menuturkan bahwa dari sisi upaya peningkatan ekonomi masyarakat memang KWT Kenanga sangat membantu. Karena berdasarkan pendataan saat ada sekitar 200an kaum perempuan yang sebagian besar adalah janda di desa Tanjung. Terlebih dengan adanya pandemi covid-19 yang membuat ekonomi masyarakat Emakin tertekan. Keberadaan KWT Kenanga seakan jadi angin segar yang bisa berikan tambahan pemasukan.
Kesuksesan KWT Kenanga ini niatnya akan jadi model pengembangan KWT serupa di dusun lainya. Di desa Tanjung kata Nita ada empat dusun. Rencananya model pengelolaan KWT Kenanga akan replikasi dengan pembentukan KWT di tiga dusun lainnya. “Sudah ada niat kita buat replikasi sekarangkan di Dusun Kedaung. Harapannya nanti adajuga di dusun lain, dusun Karajan, Kepu dan Kecemuk,” kata Nita.
Risna Resnawaty, Pakar Corporate Social Responsibility (CSR) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, mengungkapkan salah satu kunci kebehasilan suatu progam CSR adalah kejelian memilih mitra kunci, sosialisasi dan pendekatan yg baik, pembinaan dan pendampingan yg sungguh-sungguh terhadap penerima manfaat. Ini yang menurutnya terjadi di program CSR yang disusung Pertagas dengan KWT Kenanga.
Penerima manfaat dari program CSR biasanya ditentukan oleh kesepakatan antara CDO dengan pemerintah atau tokoh masyarakat lokal yang memahami karakteristik masyarakat. Selain itu program yang dilaksanakan tentu memperhatian kesesuaian antara jenis program yg dirancang dengan siapa yg nanti akan jadi kelompok sasaran.
“Keberhasilan program dan pelibatan perempuan dalam kegiatan CSR ini merupakan hasil kerja keras pendamping lapangan dari perusahaan yang cukup jeli memilih mitra kunci,” kata Risna.(Rio Indrawan)
Komentar Terbaru