JAKARTA – Pemerintah dinilai perlu meninjau kembali kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya mineral dan batu bara, terutama berkaitan dengan perkembangan kondisi nasional secara umum maupun pertambangan secara khusus.
Disan Budi Santoso, Direktur Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), mengatakan secara nasional pemerintah menghadapi kemerosotan nilai rupiah. Untuk itu, diperlukan satu terobosan dalam penguatan nilai tukar rupiah.
“Selain itu, pemerintah memerlukan produk pertambangan untuk mendukung pembangunan infrastruktur sebagai program andalan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo,” kata Budi, Jumat (7/9).
Kebijakan pengurangan impor dalam rangka penghematan devisa seharusnya dijadikan momentum oleh pemerintah untuk meningkatkan proses peningkatan nilai tambah produk pertambangan (hilirisasi) yang dapat menjadi subsitusi produk‐produk yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur.
Disisi lain, menurut Budi, pengusaha nasional dalam rangka mendukung program peningkatan nilai tambah produk pertambangan mengalami banyak kesulitan , yang antara lain adalah finansial, partnership, teknis dan non‐teknis yang menyebabkan target‐target yang pernah disampaikan tidak mudah dicapai dan bahkan telah terjadi beberapa perusahaan dibekukan sementara izin ekspornya.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan sektor mineral pertambangan dipergunakan sebagai emergency exit dalam rangka untuk mendapatkan devisa dan menopang pertumbuhan ekonomi daerah‐daerah yang selama ini kegiatannya masih mengandalkan mineral sebagai kegiatan ekonomi. Contoh: Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Sulawesi Tenggara,” ungkap Budi.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan dinamika lapangan yang dialami oleh pengusaha (permodalan, partnership, non‐teknis, perizinan), sehingga persyaratan pencapaian harus mempertimbangkan kondisi dan kesulitan‐kesulitan yang dihadapi tanpa harus mengorbankan niat dan kesungguhan pengusaha dalam membangun smelter.
“Jangan sampai pemerintah terkesan lebih berpihak kepada investor asing dengan kekuatan finansial dan dukungan permodalan dapat menguasai sumberdaya mineral nasional dan pengusaha nasional kan menjadi penonton dan memiliki nilai tawar yang rendah karena tidak memiliki kemampuan equity dalam pembangunan smelter,” kata Budi.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyaknya sumber daya yang marginal yang secara kuantitatif tidak mencukupi untuk membangun smelter secara mandiri, yang perlu dimanfaatkan dalam jangka pendek karena masalah pemanfaatan lahan (perkebunan, pemukiman, industri). Dimana dalam jangka panjang, mineral sebagai asset negara, tidak mungkin lagi dapat dimanfaatkan secara ekonomis karena kompensasi lahan yang sudah mahal. Contohnya di Pulau Bintan banyak potensi bauksit yang sekarang sudah menjadi pemukiman dan tidak mungkin dimanfaatkan lagi selamanya karena lokasi pembebasan lebih mahal.
Budi menambahkan, pemerintah juga perlu meninjau kembali peraturan yang berkaitan dengan hilirisasi berdasarkan kondisi dunia usaha dan kesulitannya sehingga pengusaha nasional memiliki kemampuan dalam membangun pemurnian dan pengolahan produk tambang. Dan, tujuan nasional dalam rangka memanfaatkan mineral sebagai daya ungkit dan daya saing ekonomi nasional dapat tercapai.
“Dan tentunya tujuan kesejahteraan dan kemakmuran nasional juga dapat diperoleh. Pembangunan daerah, lapangan kerja, devisa dan pendapatan pemerintah,” kata Budi.(RA)
Komentar Terbaru