JAKARTA – Pergeseran sistem energi diyakini akan segera terjadi. Penggunaan bahan bakar penghasil karbon seperti batu bara akan semakin mendapatkan perlawanan
Budi Gunadi Sadikin, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta PT PLN (Persero) menyadari kondisi itu. Penggunaan PLTU akan semakin mendapatkan perlawanan baik dari para pegiat lingkungan, bahkan dari masyarakat pengguna listrik itu sendiri.
“Untuk PLN, saya bilang apa yang akan terjadi dengan PLN sebagian besar pembangkit listrik batu bara yang nanti akan jadi lebih mahal sulit lebih dimusuhi, ada syarat negatif bagi industri yang mau membeli listrik dari PLN,” kata Budi disela diskusi virtual, Rabu (12/8).
PLN kata Budi harus hati-hati karena berbisnis yang masih mengandalkan kebutuhan pelanggan atau konsumen. Hal itu membuat PLN harus selalu siap memenuhi setiap keinginan konsumen. Apalagi tanda-tanda keinginan masyarakat untuk berubah tidak lagi menggunakan energi fosil sudah semakin terlihat.
“Perubahan sistem energi ini yang disebabkan consumen pressure, demand site jangan dianggap remeh, perlu diubah strategi pembangkit dari yang sifatnya carbon based menjadi renewable based,” ujarnya.
Fokus PLN untuk menggunakan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) harus terus ditingkatkan. Hal tersebut kata Budi merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Jika PLN selama ini mengeluhkan masalah pembangkit EBT tidak bisa tersedia dalam 24 jam maka harus dicari solusi penyimpanan energinya.
“Pikirkan pembangkit EBT tidak tersedia 24 jam harus pikirkan penyimpanannya. pembangkit distribusi akan berubah,” kata Budi.
Porsi pembangkit listrik tenaga batu bara memang masih sangat besar atau masih diatas 50%. Porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional hingga semester I 2020 masih jauh dari target 23% yang dicanangkan bisa tercapai pada tahun 2025. Untuk sektor kelistrikan saat ini kapasitas terpasang pembangkit EBT mencapai 10,4 ribu Megawatt (MW) dengan produksi listriknya 15.805,59 gigawatt hour (GWh) atau setara porsi 14,21% dari bauran energi listrik nasional.
Dalam data Kementerian ESDM, hingga Juni kemarin, kapasitas pembangkit listrik EBT hanya naik tipis 100 MW dari 10,3 ribu MW di akhir 2019 menjadi menjadi 10,4 ribu MW yang terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)/PLTMH naik dari 5.976 MW menjadi 6.077 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari 145,8 MW menjadi 146,6 MW.
Kemudian ada pembangkit listrik bioenergi dari 1.874,2 MW menjadi 1.890 MW. Kemudian untuk pembangkit yang tidak alami penambahan kapasitas antara lain Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 2.130,7 MW, pembangkit listrik berbasis sampah atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) 15,7 MW, PLTB 154,3 MW, dan pembangkit listrik hybrid 3,6 MW.
Pertumbuhan pembangkit EBT per tahunnya hanya 500 MW. Jika tidak ada upaya apapun, maka total penambahan pembangkit listrik energi hijau dalam lima tahun mendatang hanya 2.500 MW atau menjadi 12.800 MW di 2024. Proyeksi tersebut sangat jauh dibandingkan dengan target Kebijakan Energi Nasional (KEN)
Selain merubah fokus penggunaan pembangkit menjadi EBT, PLN harus juga memikiran tansformasi pada jaringan distribusinya.
Ke depan, penggunaan pembangkit listrik tenaga matahari di rumah masing-masing bukanlah mimpi. Ini harus dipikirkan PLN dengan mempersiapkan infrastruktur pendukung sehingga arus listrik bisa mengalir dua arah.
“Orang akan membangkut solar masing-masing. Jaringan distribusi tadinya satu arah jadi dua arah, meterah in dan out, grid jadi smart. Perubahan sistem energi 5-10 tahun ke depan masif,” kata Budi.(RI)
Wacana ini sangat bagus sekali dan untuk itu dukungan sangat diperlukan dengan menerbitkan UU ataupun Perpres untuk memastikan agar target bauran EBT dalam penyediaan tenaga listrik pada 2025 ataupun 2050 bisa tercapai, atau bahkan melebihi taget yg sudah ditetapkan. Jumlah pasokan listrik pada tahun 2018 sebesar 62.600 MW (liputan6.com, 5 Januari 2019) dan estimasi pasokan listrik pada tahun 2019 bertambah 4.000 MW ( Liputan6.com, 21 Februari 2019) maka pasokan listrik pada tahun 2019 diperkirakan sebesar 66.600 MW dengan
bauran pasokan dari pembangkit EBT baru sekitar 13 % (IISD, 25 September 2019) atau 8.700 MW. Bila estimasi kebutuhan listrik pada tahun 2025 berkisar 100.000 MW (Kumparan Bisnis, 29 Agustus 2018) dan dengan target bauran EBT 23% maka pembangkit listrik EBT harus bisa menghasilkan tenaga listrik 23.000 MW. Tentunya, ini adalah tugas berat dan serius dari pemerintah, karena dalam kurun waktu 4 tahun 4 bulan dari hari ini, harus bisa membangkitkan tenaga listrik dari pembangkit listrik EBT sebesar 14,300 MW !!!.
Beberapa kendala yang menjadi penyebab terhambatnya perkembangam pembangkit listrik dari EBT adalah : pembebasan lahan, sistem kerja sama BOOT dalam PJBL dan harga/tarif pembelian tenaga listrik yang lebih rendah 15 % dari tarif listrik dengan sumber energi batubara ( IISD, 25 September 2019). Dengan tarif yang rendah ini, banyak pengembang yang sulit mencari pendanaan…..
Banyak daerah yang mempuyai Sumber EBT, tapi tidak di upayakan untuk digunakan, malah dibangun terus PLTU batu bara, contoh kasus di NAGAN RAYA. ini ketidak seriusan dari pihak yang berwenang