JAKARTA – Schneider Electric™, perusahaan transformasi digital dalam pengelolaan energi dan otomasi, merilis hasil studi white papernya yang berjudul “Understanding the Total Sustainability Impact of Li-ion UPS Batteries” dan menemukan bahwa secara keseluruhan, dalam siklus masa pakainya, baterai lithium-ion memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan baterai VRLA (valve-regulated lead-acid) atau dikenal dengan aki kering. Namun begitu baterai lithium-ion tetap memiliki dampak terhadap lingkungan yang perlu diantisipasi. Adapun studi yang dilakukan Schneider Electric mengupas setiap bagian dari siklus hidup baterai lithium-ion (li-ion) yang dibagi dalam 3 fase utama: rantai pasokan, pengoperasian, dan akhir masa pakai.
“Pasar baterai li-ion terus berkembang dan diperkirakan akan terus tumbuh selama beberapa tahun mendatang (dengan CAGR 12,3% dari 2021 hingga 2030). Peningkatan ini, sebagian, merupakan hasil dari booming pasar Kendaraan Listrik (EV) dan popularitas baterai ini di kalangan pembuat mobil karena ukurannya yang kecil, bobot yang ringan, dan masa pakai yang lebih lama. Mengingat kelebihan yang dimiliki, baterai li-ion pun mulai banyak digunakan pada Uninterruptible Power Supply (UPS) sebagai pengganti baterai VRLA,” ungkap Yana Achmad Haikal, Business Vice President Secure Power Schneider Electric Indonesia & Timor Leste, dalam keterangan resminya belum lama ini.
Namun begitu banyaknya pemberitaan yang berkembang mengenai bahaya dan masalah lingkungan yang diakibatkan dari baterai li-ion menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran dari manajemen data center dan professional TI akan dampaknya terhadap pencapaian tujuan keberlanjutan perusahaan mereka. Kekhawatiran terhadap bahan material yang digunakan, intensitas karbon berlebih, keamanan selama pengangkutan dan penggunaan, serta ketidakpastian mengenai pengolahan limbah baterai menjadi beberapa faktor yang banyak menjadi perhatian.
“Dalam white paper ini, kami mencoba menelusuri secara holistik dampak baterai li-ion mulai dari hulu ke hilir hingga di akhir masa pakainya, dibandingkan dengan baterai VRLA. Harapannya melalui white paper ini dapat menjernihkan kebingungan dan memberikan gambaran dari sudut pandang berbeda,” ujar Yana.
Rantai Pasokan
Menurut Yana, banyak anggapan yang kurang tepat yang muncul terkait dengan rantai pasokan, termasuk ekstraksi bahan mentah, proses pembuatannya, dan kemudian distribusi/pengangkutan baterai.
Dalam hal ekstraksi bahan baku, terdapat anggapan umum bahwa penambangan baterai li-ion untuk mendapatkan litium saat ini (vs. VRLA yang sebagian besar menggunakan timah daur ulang) memberikan dampak lebih buruk bagi lingkungan. Namun bila menelisik ekstraksi bahan mentah, maka ada tiga pertimbangan utama yang mendorong dampak lingkungan, yaitu: (1) toksisitas proses, (2) keamanan dan etika praktik penambangan, dan (3) jumlah material yang dibutuhkan. Dalam white paper ini, akan dijelaskan bagaimana massa material yang lebih kecil dan penurunan toksisitas li-ion yang signifikan menghasilkan dampak lingkungan yang lebih rendah secara keseluruhan dalam tahapan eksplorasi sumber material.
Terkait proses manufaktur, anggapan umum yang kurang tepat adalah informasi kompleksitas ‘sistem’ baterai li-ion terkait komponen yang dibutuhkan untuk menunjang keamanannya (seperti sistem manajemen baterai dan switchgear), menjadi tolak ukur bahwa baterai ini memiliki dampak lingkungan yang lebih besar selama pembuatan. Namun melihat instalasi dan masa pakai, baterai li-ion memiliki masa pakai yang lebih lama dibandingkan dengan baterai VRLA dengan perbandingan 1 : 1+2 baterai pengganti dalam kurun waktu 10 tahun. Sehingga dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka dampak lingkungan dari pembuatan baterai li-ion lebih rendah dibandingkan baterai VRLA.
Mengenai distribusi & transportasi, seringkali ada kekhawatiran tentang keselamatan yang diangkat terkait topik ini. Memang benar bahwa peraturan dan proses seputar pengiriman li-ion lebih kompleks. Tetapi faktor besar dalam dampak lingkungan dari emisi karbon yang dihasilkan dari distribusi/transportasi berkaitan erat dengan bobot angkut baterai. Jadi, meskipun kompleksitas proses distribusi dan transportasi baterai li-ion lebih dibandingkan baterai VRLA, namun bobot li-ion yang lebih ringan memungkinkan pengangkutan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan VRLA dalam satu waktu, dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan dari keduanya.
Pengoperasian
Yana menjelaskan, saat kita berbicara tentang pengoperasian atau fase penggunaan baterai UPS, pertimbangan lingkungan adalah yang utama terkait dengan aspek pemasangan & penanganan, konsumsi energi dan emisi CO2 yang terkait, serta masa pakai baterai.
Untuk pemasangan & penanganan, penggerak utama perbedaan dampak lingkungan dari kedua jenis baterai selama pemasangan dan penanganan adalah perbedaan berat. Bobot li-ion yang lebih ringan dan masa pakai baterai li-ion yang lebih lama dengan kebutuhan penggantian baterai yang lebih sedikit atau tidak sama sekali akan dapat menghasilkan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan VRLA.
“Terkait konsumsi energi dan emisi karbon, pertanyaan umum di sini berkaitan dengan emisi CO2 dari energi yang dikonsumsi,” kata Yana. UPS adalah produk berbasis penggunaan, dengan lebih dari 90% emisinya terjadi pada fase ini. Meskipun baterai mewakili persentase kecil dari energi tersebut, namun baterai li-ion hanya membutuhkan kira-kira setengah dari energi yang dibutuhkan untuk menjaganya tetap terisi daya dibandingkan dengan VRLA, sehingga penggunaan baterai li-ion pada UPS akan menghasilkan emisi CO2 yang lebih sedikit dibandingkan VRLA.
Mengenai masa pakai, umur li-ion yang lebih lama (biasanya 10+ tahun vs. 3-5 tahun untuk VRLA) adalah faktor utama yang memungkinkan peningkatan efisiensi operasional dan dampak yang lebih rendah terhadap aspek sustainability secara keseluruhan.
Akhir Masa Pakai
Yana menerangkan bahwa topik yang paling kontroversial terkait sustainability adalah pengolahan limbah baterai saat habis masa pakainya. VRLA memiliki praktik daur ulang yang matang. Sementara baterai li-ion belum sematang VRLA karena teknologi dan proses daur ulang yang masih berkembang.
Pada penggunaan sekunder, baterai li-ion UPS bekas yang memenuhi syarat untuk penggunaan sekunder dapat diaplikasikan untuk kebutuhan industri lain seperti microgrid dan kendaraan listrik. Sektor kendaraan listrik yang saat ini tengah bertumbuh berpotensi menyerap baterai li-ion UPS bekas untuk digunakan kembali sehingga memperpanjang masa pakai baterai li-ion.
Dalam hal daur ulang, meskipun infrastruktur daur ulang belum matang saat ini, ada tingkat kepercayaan yang tinggi bahwa sistem daur ulang yang terstruktur dan ekonomis akan segera tersedia, mengingat nilai logam meningkat, mendorong ekonomi menuju daur ulang. Di samping ituw, pasar kendaraan listrik yang tengah bertumbuh akan mendorong investasi dan penelitian mendalam terkait daur ulang, dan
Peraturan yang semakin mendorong kematangan aturan daur ulang
“Perusahaan seperti li-cycle membuat kemajuan yang signifikan untuk industri ini. Proses hidrometalurgi mereka, misalnya, mengklaim mendukung semua kimia dan format baterai li-ion, memulihkan 95%+ bahan material yang ditemukan dalam baterai lithium-ion, dan menghindari limbah penimbunan selama proses berlangsung,” ujar Yana.(RA)
Komentar Terbaru