JAKARTA – Untuk yang kesekian kalinya para ahli menyampaikan pendapatnya dalam sidang bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) bahwa tidak ada kerugian negara yang dimungkinkan timbul, dari kerjasama yang dinaungi Production Sharing Contrat (PSC) minyak dan gas bumi (migas).
Kali ini pendapat tersebut disampaikan oleh pakar PSC, Makmum Hakim Nasution dalam sidang perkara bioremediasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada Jumat, 31 Mei 2013. Pria yang akrab disapa Hakim ini, hadir sebagai saksi ahli untuk terdakwa Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, dan Widodo. Ketiganya merupakan karyawan PT CPI.
Di hadapan majelis hakim kasus bioremediasi yang diketuai Sudharmawati Ningsih, Hakim menjelaskan bahwa pelaksanaan operasi pada industri migas di Indonesia tidak menggunakan izin, tetapi menggunakan PSC. Dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, PSC disebut kontrak kerjasama, tapi bentuknya kontrak bagi hasil.
Hakim menerangkan, PSC berasal dari konsep paron (bahasa Jawa yang berarti setengahan, red) yang biasanya dipakai dalam hubungan kerja masyarakat petani. Pemilik tanah tidak menggarap tanahnya, bekerjasama dengan petani yang tidak memiliki tanah tapi memiliki pacul, bibit, dan keahlian. Kemudian kedua pihak memutuskan kerjasama nanti hasilnya dibagi. ‘Pemilik tanah’ adalah pemerintah (SKK Migas), ‘petani’ adalah KKKS (Kontraktor kontrak Kerjasama) migas.
KKKS bertanggung jawab 100% atas biaya-biaya yang dikeluarkan, dan tidak bisa menuntut dana apa pun dari pemerintah, apabila dalam masa eksplorasi tidak ditemukan minyak. Kalaupun ditemukan minyak, masih ada catatan bahwa cadangannya komersial, alias menguntungkan kedua belah pihak jika diproduksikan.
Kedudukan subyek hukum para pihak dalam perjanjian, kata Hakim, adalah subyek hukum perdata. Dan dalam pelaksanaan PSC di Indonesia, pemerintah sudah sepakat untuk memilih arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian jika ada perselisihan. “Dengan PSC, tidak ada istilah negara rugi, karena tidak ada modal yang dikeluarkan pemerintah,” tegasnya.
Semua Biaya Dari Kontraktor
Ia juga menerangkan, pada bagian awal PSC selalu disebutkan bahwa kontraktor sudah memiliki dana, dan tidak boleh mengandalkan dari pinjaman bank. Biaya operasi dikoreksi bersama antara SKK Migas dan KKKS, karena akan mengurangi jumlah produksi yang bisa di-split (dibagi). Makin besar biaya operasi, maka makin kecil jumlah produksi yang dibagi. Maka sudah sewajarnya, setiap bisnis terutama bisnis migas, menghendaki biaya operasi sekecil mungkin.
Terkait pembagian hasil, kata Hakim, harus lebih dulu disetujui lewat WP&B (Work Program and Budget) oleh pemerintah. Modal kerja didapatkan kembali (di-recovery) dari pemerintah dalam bentuk minyak mentah, setelah penemuan minyak atau gas yang komersial, dan telah dihitung serta disetujui dengan Plan of Development (PoD) oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sejauh ini, kata Hakim, perusahaan-perusahaan besar pelaku industri migas , tidak mencari keuntungan dari cost recovery (penggantian biaya operasi). Namun dari penjualan hasil produksi minyak. Dalam konteks ini, SKK Migas bertugas melakukan pengendalian dan pengawasan yang ketat lewat audit. Baik pre-audit, current audit,maupun post-audit. “Jika semua pengawasan sudah terlampaui, maka pelaksanaan kontrak itu legitimate,” terangnya.
Hakim tak menampik, dalam pengawasan bisa saja ada temuan audit. Sesuai mekanisme PSC, temuan ini akan didialogkan, dimusyawarahkan atau dimintakan klarifikasi secara intens. “Temuan audit yang tidak bisa diselesaikan, maka dibawa ke arbitrase sesuai yang ditentukan dalam PSC,” ujarnya.
Hakim pun menyampaikan, sampai saat ini belum pernah ada, temuan atau perselisihan dalam PSC migas, yang dibawa ke arbitrase. Mekanisme yang ditempuh hanya Business to Business (B to B) karena memang PSC adalah kontrak bisnis. “Belum pernah ada arbitrase karena semua perselisihan masih bisa diselesaikan dengan musyawarah,” tandas Hakim.
Korban Warga Tak Berdosa
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, membenarkan bahwa selama puluhan tahun PSC telah menjamin kepentingan pemerintah dan negara, untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari potensi sumberdaya alam migas yang dimiliki, sekaligus menjamin kepentingan PT CPI sebagai investor.
“Dalam PSC Rokan, pemerintah memperoleh bagian 88 persen, sementara CPI memperoleh 12 persen. Keseluruhan operasi migas CPI dibiayai sepenuhnya terlebih dahulu oleh CPI. Tidak ada uang negara yang dipakai untuk membiayai operasi migas,” ujar Dony di Jakarta, Senin, 3 Juni 2013.
Sesuai PSC, lanjut Dony, selisih kadang-kadang terjadi karena biaya aktual lebih besar atau lebih kecil, sehingga pemerintah atau CPI kelebihan atau kekurangan dalam mengambil bagiannya. Kemudian selisih ini dikoreksi di lifting berikutnya dengan CPI, atau pemerintah mengambil lebih bagian minyaknya sesuai koreksi yang sudah disepakati.
“Tidak pernah disebut bahwa pemerintah “korupsi” ketika pemerintah kelebihan dalam mengambil bagian minyaknya. Demikian pula tidak disebut CPI “korupsi” apabila ternyata tidak semua biaya operasi bisa dikembalikan berdasarkan hasil audit yang disepakati oleh CPI dan SKK Migas. Begitulah kontrak bisnis ini berjalan,” terang Dony.
Dony pun menyampaikan harapan, agar Kejaksaan Agung dan Pengadilan Tipikor dapat merujuk penyelesaian kasus ini, kepada konstruksi hukum yang berlaku di operasi migas dan mekanisme PSC, yang telah disepakati oleh CPI dan Pemerintah Indonesia. “Jangan sampai ada korban warga negara tak berdosa karena kekeliruan dalam menerapkan hukum,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru