JAKARTA – Dalam sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan terdakwa Widodo, dihadirkan saksi ahli pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej.
Dalam sidang yang berlangsung pada Rabu, 29 Mei 2013 itu, Asep menerangkan bahwa dalam pidana lingkungan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup, tidak diatur tentang pidana yang terkait dengan kerugian keuangan negara atau korupsi, seperti yang dituduhkan kepada karyawan Chevron, Widodo.
Asep di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih, mengaku turut serta dalam penyusunan dua UU bidang lingkungan. Yakni UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Lingkungan maupun UU 32/2009. Namun dalam dua UU tersebut, sama sekali tidak ada ketentuan tentang pidana lingkungan yang berkaitan dengan kerugian negara atau korupsi.
Pakar hukum lingkungan dan hukum administrasi yang beberapa kali mengikuti kursus hukum di Belanda dan Belgia ini, juga menerangkan bahwa dalam penanganan dugaan adanya tindak pidana lingkungan, maka peraturan yang wajib dirujuk adalah UU 32/2009. Karena UU 32/2009 merupakan lex specialis terhadap UU lain dalam hal pidana lingkungan.
“Jika ada pelanggaran lingkungan, maka UU 32/2009 inilah yang digunakan, tidak butuh dukungan UU lainnya,” tegasnya, seraya menjelaskan, pidana lingkungan yang diatur UU 32/2009, bisa menjerat pelaku maupun pemerintah.
Dalam UU 32/2009, kata Asep, dijelaskan pula bahwa yang diberi tugas oleh UU untuk menjadi penegak hukum pada pidana lingkungan, adalah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang harus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). “Jika dalam menangani perkara pidana lingkungan penegak hukum tidak koordinasi dengan KLH, berarti telah terjadi pengabaian terhadap UU 32/2009,” tandasnya.
Dalam UU 32/2009, kata Asep, juga disebutkan bahwa jika ada laporan masyarakat ke penyidik (Polri atau Kejaksaan) mengenai dugaan pidana lingkungan, maka penyidik harus berkoordinasi ke KLH, untuk kemudian KLH menugaskan PPNS-nya melakukan tindakan penegakan hukum.
Asep pun lantas menyebutkan dasar hukum statemennya. Yakni Pasal 63 UU 32/2009 yang menyebutkan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah, yang secara spesifik dalam Pasal 64 UU 32/2009 diamanatkan ke Kementerian Lingkungan Hidup.
Pengendalian Melalui Izin
Asep juga menerangkan, instrumen penegakan hukum lingkungan bukan hanya pemidanaan. Melainkan ada izin, yang di dalamnya terkandung instrumen pengendalian, pencegahan terhadap pelanggaran, koordinasi, dan pengawasan. Dalam setiap permohonan izin lingkungan, ada empat syarat yang harus dipenuhi pemohon, yakni administrasi, yuridis, teknis, dan manajerial. Dan dalam menjalankan fungsi izin, pemerintah dapat melakukan peninjauan ke lapangan.
Hal senada diungkapkan Guru Besar Hukum Pidana UGM, Edward Omar Syarif Hiariej, yang juga dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan itu. Terkait kasus bioremediasi, Edward pun menegaskan, yang harus menjadi rujukan adalah UU 32/2009. Mengingat sifat kasus bioremediasi yang spesifik, dalam konteks pidana maka ketentuan yang khusus mengesampingkan yang umum.
“Jika ada dua UU yang bersifat khusus, maka digunakan fakta yang lebih dominan. Misalnya dalam konteks lingkungan hidup, maka rujukan yang dipilih adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup,” tandasnya.
Korupsi Dicari-cari
Dalam kesempatan berbeda, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menilai hampir dalam seluruh persidangan bioremediasi, kuat kesan jaksa penuntut umum dan majelis hakim mencari-cari jawaban yang mendukung dugaan dan prasangka tentang adanya korupsi.
Akibatnya, berbagai keterangan yang faktual dan sangat jelas menunjukkan tidak adanya korupsi dan pelanggaran hukum, justru diabaikan. Termasuk yang diabaikan, adalah keterangan beberapa pejabat KLH dalam persidangan, yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam proyek bioremediasi Chevron, dan semuanya sudah dijalankan sesuai aturan.
“Ketika hakim lebih mendengar keterangan ahli yang sarat kepentingan daripada keterangan KLH yang jelas berwenang menurut undang-undang, tentunya menjadi pertanyaan besar apakah hal tersebut disengaja atau suatu kekhilafan?,” ungkap Dony di Jakarta, Jumat, 31 Mei 2013.
Begitu pula ketika beberapa pejabat Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai proyek bioremediasi Chevron sudah berjalan baik dan taat aturan, majelis hakim terus berusaha mencecar mereka, dengan pertanyaan yang mengarahkan pada pembenaran adanya tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi.
“Mengapa hakim harus begitu? Jika pihak atau lembaga pemerintah yang berwenang sesuai UU di Indonesia yaitu KLH dan SKK Migas telah menyatakan proyek bioremediasi ini sesuai aturan, hukum yang mana lagi yang dijadikan pegangan oleh pengadilan tipikor dan kejagung?,” ungkap Dony.
Ia pun mengaku yakin, saat ini pengadilan dan kejaksaan telah memperoleh fakta serta keterangan yang semakin banyak dan jelas, yang menunjukkan perkara ini adalah perkara perdata. Semua ahli sudah menjelentrehkan di dalam persidangan, bioremediasi Chevron adalah kegiatan yang dinaungi kontrak perdata PSC (Production Sharing Contract) migas, dan bukan perkara pidana korupsi.
“Dengan semua keterangan itu, mestinya majelis hakim memahami bahwa karyawan Chevron dan kontraktor Chevron, tidak memiliki tanggung jawab hukum untuk melaksanakan kontrak PSC, karena yang berkontrak adalah Pemerintah Indonesia dan Chevron sebagai perusahaan. Jadi sudah semestinya semua terdakwa dibebaskan,” pungkasnya.
(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru