Dari Sungai Nil, nila bermigrasi ke delapan penjuru angin. Di Tanjung, Kalimantan Selatan seiring dengan merebaknya warung-warung makan pinggir jalan, potensial dikembangkan untuk menopang perekonomian masyarakat
Budidaya Keramba ikan nila di Sungai Tabalong (Foto Tatan Agus Rst)
JAKARTA- Matahari senja jatuh di Sungai Tabalong, tengggelam di dasar sungai. Tanpa harus mendongak ke atas, kami bisa mereguk keindahannya. Warnanya yang kemerahan , memantul-mantul megikuti gerakkan air. Sunset ternyata tak hanya bisa dinikmati di laut atau diintip di punggung gunung. Sungai pun menawarkan sensasi sama, melenakan jiwa. Keindahan itu digenapkan dengan keriangan bocah-bocah yang berenang ke sana ke mari. Kadang mereka menyelam , seperti hendak memburu matahari.
Saat itu saya bersama seorang teman dari Jakarta, ditemani Asrani, penduduk Desa Masukau, Murung Pudak, Kalimantan Selatan. Kami berbincang apa saja di atas keramba terapung di atas sungai tersebut. Asrani membahasakan keindahan pemandangan sore itu dengan kalimat sederhana. “ Di sini tenang,” ujarnya kepada Dunia Energi beberapa waktu lalu.
Pria berusia 38 tahun tersebut dari kecil sudah suka sungai. Waktu kanak-kanak nyaris setiap hari dia berenang. Sekarang, dia masih menyusuri sungai untuk memancing patin. Ia bercerita panjang lebar tentang kebiasaan patin yang banyak hidup di sungai-sungai Kalimantan, misalnya, kebiasaaan makan buah luak, yang bertebaran di sepanjang tepian sungai. Buah itu juga biasanya dipakai untuk memancing.
Karena tak ada biaya, Asrani hanya sekolah sampai SMP. Dia tak ingin pengalaman itu diulang oleh dua anaknya. Dia tahu dari hari ke hari biaya pendidikan semakin mahal. “Tapi selama kita mau pasti ada jalan,” ujarnya. Salah satu pintu rezeki itu didapatnya empat tahun lalu saat mendapat bantuan modal dan pelatihan keramba ikan dari Pertamina EP Tanjung. Saat itu ada empat kelompok yang mendapatkan bantuan, ditempatkan di Singai Jaing dan Sungai Tabalong.
Asrani menjadi Ketua Kelompok Dua, beranggotakan 13 orang. Tiap orang mendapat satu keramba. Tahun pertama , selain mendapat bantuan keramba yang terbuat dari kayu ulin, juga mendapat bibit. Saat itu kelompoknya mendapat bantuan sekitar 7.000 ekor, dan empat sak makanan. Satu sak makanan itu seharga Rp320 ribu.
Tak serta merta lancar. Pernah pada tahun pertama, setelah sempat panen, pada musim berikutnya nila yang dipelihara mati. “Mungkin karena sungai saat itu tercemari limbah. “ ujarnya.
Tak jauh dari situ ada penambangan batubara dan pengolahan karet. Nila sebetulnya ikan yang bandel, tapi karena pencemarannya luar bisa, tak satu ekor pun tersisa. “ Kami sampai demo ke kedua perusahaan tersebut. Tapi mereka tak mengaku telah mencemari sungai,” Asrani menegaskan.
Nila boleh dikatakan ikan sejuta umat, bisa ditemukan dan dipelihara di mana saja di seantero Indonesia, juga di dunia. Habitat aslinya di Hulu Sungai Nil di Uganda terus ke arah selatan melewati Danau Raft dan Tanganyika hingga ke Mesir (sepanjang Sungai Nil). Nila juga terdapat di Afrika Tengah dan Barat. Populasi terbanyak ditemukan di kolam-kolam ikan di Chad dan Nigeria. Kini, nila telah menyebar ke seluruh dunia mulai dari Benua Afrika, Amerika, Eropa, Asia, dan Australia.
Khusus Indonesia , Nila pertama kali didatangkan dari Taiwan ke Bogor (Balai Penelitian Perikanan AirTawar) pada tahun 1969. Setahun kemudian, ikan ini mulai ditebarkan ke beberapa daerah. Pemberian nama nila berdasarkan ketetapan Direktur Jenderal Perikanan pada tahun 1972. Nama tersebut diambil dari nama spesies ikan ini, yakni nilotica yang kemudian diubah menjadi nila . Nama nilotica menunjukan habitat ikan ini, yaitu sungai
Di beberapa tempat di Indonesia, banyak yang sudah beroleh kemakmuran dari budidaya nila. Asa itu pula yang kini menggumpal di benak Asrani dan kawan-kawan. Sekarang, kelompok sudah bisa mandiri. Sesekali masih minta bantuan kepada Pertamina, misalnya drum sebagai penopang keramba untuk mengganti yang sudah rusak. Perusahaan tak membelikan yang baru, hanya memanfaatkan material bekas tempat BBM yang sudah tak terpakai.
Yang lainnya, mereka biayai sendiri. Selain bibit, mereka juga membeli pakan sendiri. Satu tahun bisa empat kali panen. Hasilnya sekitar empat pikul atau empat ratus kilo sekali panen dengan harga 25.000 per kg. Di pasar eceran sebenarnya bisa Rp 30.000. Tapi mereka lebih memilih menjual ke pengepul yang dianggapnya lebih praktis meski sedikit lebih murah. “Tinggal telpon pengepul—langsung datang,” ujar Asrani
Tak salah jika Asrani ditunjuk sebagai ketua kelompok. “Sejak kecil saya senang ikan dan sungai,” ujarnya. Jauh sebelum mendapat bantuan dari Pertamina , dia pernah mencoba memelihara. Tapi tak pernah berhasil, yang disebutnya habis dengan modal-modalnya.
Setelah sekian tahun berjalan, mereka menemukan cara yang lebih ekonomis. Bibit yang masih kecil, yang harganya Rp 100, diganti yang lebih besar. Biayanya menjadi lebih besar. Harganya Rp800 per ekor. Cuma panennya lebih cepat, bisa tiga-empat bulan. Rezeki ikan sejuta umat pun datang lebih cepat, membuat Asrani dan teman-temannya terseyum. (Kijay Damayanti/jaya@dunia-energi.com
Komentar Terbaru