JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil akan mengajukan judicial review Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam waktu dekat. Koalisi menilai banyak beleid dalam aturan tersebut yang tak berpihak pada rakyat dan tidak sesuai UUD 1945.
“Banyak pasal yang malah menguntungkan pengusaha sekaligus mengabaikan fakta lapangan terkait kerusakan lingkungan maupun masyarakat terdampak tambang. Hampi 70% konten UU baru ini layak di JR,” ujar Arip Yogiawan, juru bicara #BersihkanIndonesia dari YLBHI, Kamis (14/5).
Menurut Egi Primayoga, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), pengesahan RUU Minerba terbukti telah melecehkan keberatan yang tidak henti disuarakan masyarakat. Selain itu, pembahasannya juga terburu-buru, sehingga ada kesan tidak transparan.
Egi menegaskan masyarakat berhak mempertanyakan pengsahan RUU tersebut. Sebab patut diduga kuat RUU itu sarat mengedepankan kepentingan bisnis para pelaku isaha seperti pengusaha batu bara.
“DPR dan pemerintah melecehkan kepentingan orang banyak. Ada korupsi jenis state capture dan itu tidak boleh kita biarkan,” kata Egi.
Disahkannya UU yang baru oleh pemerintah dan DPR juga dinilai tidak sesuai dengan semangat konservasi lingkungan yang selama ini diperjuangkan.
Iqbal Damanik, Peneliti Auriga Nusantara mencatat ada 87.307 hektare (ha) lubang bekas tambang yang terancam tak direklamasi. Menurut dia, lewat revisi UU ini pemerintah menjamin perpanjangan izin perusahaan pertambangan. Meskipun memang ada aturan evaluasi dari yang disebutkan dalam UU namun pelaksanaannya disangsikan dapat berjalan.
“Penelantaran lubang bekas tambang itu berpotensi melanggar hak-hak warga di sekitar tambang dan memakan korban jiwa,” ujar Iqbal.
Iqbal mengatakan, UU Minerba yang baru juga luput menyorot tanggung jawab pengusaha pertambangan atas konservasi kawasan pasca tambang. Padahal, pemerintah bisa memasukkan ketentuan soal sanksi bagi perusahaan yang tak melakukan kewajiban tersebut dalam batang tubuh Undang-Undang Minerba.
Sebaliknya pemerintah justru menghilangkan pembatasan kawasan eksplorasi tambang seluas 15.000 ha di dalam Pasal 83 ayat (c)Revisi UU tersebut. Hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan yang sebelumnya mangkir dari kewajiban pascatambang untuk menciptakan kerusakan lebih luas.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) melalui Rapat Paripurna yang digelar Selasa (12/5).
Dalam Pasal 47 (a) revisi beleid tersebut disebutkan bahwa jangka waktu kegiatan operasi produksi tambang mineral logam paling lama adalah 20 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal serupa juga diberikan pada pertambangan Batubara, meski di Pasal 47 UU sebelumnya, tak ada kata ‘dijamin’ melainkan kata ‘dapat diperpanjang’.
Bahkan, dalam pasal 47 (g), pertambangan batu bara yang terintegrasi dengan kegiatan pertambangan dan atau pemanfaatan selama 30 tahun akan dijamin memperoleh perpanjangan 10 tahun.
Sementara, dalam Pasal 169 A naskah Revisi UU Minerba, disebutkan bahwa Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengelolaan Batubara (PKP2B) diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi sejumlah persyaratan.(RI)
Komentar Terbaru