JAKARTA – Pemberian subsidi energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) lebih baik langsung diberikan ke individu dibandingkan pemberian subsidi pada komoditas. Apalagi data rumah tangga miskin saat ini seharusnya sudah lebih baik. Dengan diberikan secara tunai, masyarakat bisa mengalokasikan uangnya lebih fleksibel.
Ardiyanto Fitrady, pakar ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, mengatakan jika subsidi diberikan ke komoditas, kemungkinan kebocoran sangat besar dan sulit dikendalikan. “Kalaupun terpaksa karena sudah teranjur ke komoditas, subsidi harus ada batasnya juga. Dengan begitu sisi keuangan pemerintah bisa menjaga alokasi budget-nya. Kalau ada yang bocor, harga berubah misalnya tidak akan sebesar dampaknya,” ujar Ardiyanto saat diskusi dengan media secara virtual, Senin (18/4).
Menurut Ardiyanto, menaikan harga komoditi isunya sangat besar. Apalagi kaitannya dengan komoditi yang digunakan banyak orang, seperti bahan bakar minyak (BBM) maupun LPG. Untuk itu, dia menyarankan, lebih baik pemerintah memebrikan subsidi langsung ke rumah tangga miskin. Apalagi tujuan awal subsidi adalah mengurangi beban masyarakat miskin, sedangkan masyarakat menengah keatas tidak perlu dibantu.
Dia menyebutkan, BBM bukan energi terbarukan sehingga jika disubsidi pasti akan ada kebocoran. Masyarakat akan lebih banyak membeli (BBM) daripada seharusnya. “Ini yang dimaksud level efisien. Harusnya harga itu disesuaikan, karena kalau mahal berkurang belinya. Harga itu mencerminkan kelangkaan. Kalau langka, individu akan mengurangi konsumsi,” kata dia.
Menurut Ardiyanto, tidak adanya kenaikan harga BBM sejak awal harga minyak terus meroket dari level US$90 melewati US$ 100 per barel merupakan bentuk itikad baik pemerintah di masa sulit akibat dampak pandemi COVID-19. Seharusnya, lanjut dia, badan usaha mengikuti naik turunya harga minyak dengan melakukan penyesuaian harga BBM. Apalagi subsidi kompensasi juga tidak gratis, namun berasal dari realokasi APBN.
“Itu sebenarnya bisa dikeluarkan buat yang lain, mungkin juga lebih bermanfaat untuk kesehatan dan pendidikan. Sebenarnya kita kehilangan kesempatan mendanai program lain,” ungkapnya.
Ardiyanto menilai subsidi seharunya itu tidak langsung dilepas ketika ada masalah seperti saat ini, yaitu tingginya harga minyak mentah sehinga mempengaruhi harga BBM di dalam negeri. Karena ketika keuangan tidak kuat lalu subsidi dilepas atau dikurangi drastis yang terjadi adalah shock perekonomian akan besar.
“Orang akan sulit menyesuaikan diri. Inti masalahnya adalah perilaku masyarakat. Seberapa besar konsumsi BBM itu bisa ditata perilakunya. Ketika harga dinaikan sedikit demi sedikit orang bisa mengurangi konsumsi. Tapi kalau diminta mengurangi konsumsi drastis itu sulit,” kata dia.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada Rabu (13/4) pekan lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif malah menyepakati penambahan kuota Solar dan Pertalite. Dua jenis BBM yang masuk kategori subsidi dan penugasan itu dinaikkan kuotanya. Pertalite yang tahun ini diproyeksikan 23,05 juta kiloliter (KL) dinaikkan kuotanya 5,45 juta KL menjadi 28,5 juta KL. Sedangkan Solar naik dari proyeksi 15,1 juta KL menjadi 17,39 juta KL. Hal ini akan meningkatkan impor keduanya karena kilang domestik hanya mampu memasok 55% kebutuhan nasional.
Dalam Raker tersebut, Menteri ESDM menyampaikan strategi jangka pendek pemerintah pemerintah untuk menyesuaikan harga Solar, Pertalite, dan LPG 3 kg. Hal ini merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang melewati US$ 100 per barel sedangkan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) US$ 63 per barel. Apalagi Indonesia mengimpor produk BBM dengan harga keekonomian. Di sisi lain, sudah lebih dari tiga tahun pemerintah tidak menyesuaikan harga BBM dan LPG yang sebenarnya dialokasikan untuk masyarakat berpenghasilan rendah itu.
Terkait skenario kenaikan harga BBM dan LPG subsidi, Ardiyanto menyarankan, momentum yang tepat untuk penyesuaian harga BBM bergantung kemampuan budget pemerintah. Namun yang bisa dipastikan saat harga naik mengikuti harga pasar dengan sendirinya konsumsi akan turun mencapai level optimum.
“Selama ini masyarakat kita karena harganya murah maka konsumsi terlalu banyak. Sementara dari sisi pemerintah tidak baik juga kalau membatasi kuantitas,” katanya.
Untuk mengurangi shock perekonomian, tambah Ardiyanto, kenaikan harga BBM bisa dibedakan antara produk yang memiliki ikutan lebih besar, seperti Solar dengan menurunkan subsidi atau kenaikan harga lebih landai dibandingkan BBM untuk kendaraan pribadi.
“Idealnya tidak ada subsidi komoditi, tapi karena sudah telanjur supaya dampaknya tidak terlalu drastis, subsidi untuk kendaraan pribadi bisa lebih kecil,” ujarnya.
Komentar Terbaru