MAKASSAR – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta mengurungkan niatnya untuk mengalihkan wewenang menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi. Karena jika itu dilakukan, maka dengan sendirinya melanggar Undang-Undang (UU).
Hal ini diungkapkan Guru Besar Hukum Pertambangan dari Universitas Hasanuddin Makassar, Prof Dr Abrar Saleng, SH, MH. Ia mengaku keinginan presiden menarik kewenangan menerbitkan IUP ke provinsi sangat rasional. Mengingat selama ini banyak IUP yang diterbitkan bupati tidak memenuhi syarat.
Namun dari sisi hukum, kata Abrar, rencana presiden itu bertentangan dengan pasal 37 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Di sana diatur jelas, bila koordinat lahan tambang berada di satu kabupaten, wewenang menerbitkan IUP pada bupati/walikota.
“Memang niat presiden baik, agar tercipta tertib pertambangan di Tanah Air, dan daerah tidak lagi sembarangan menerbitkan IUP. Tetapi kalau presiden mengeluarkan kebijakan tanpa dasar UU, itu suatu contoh yang tidak bagus,” ujarnya di Makassar, Jumat, 7 September 2012.
Pemerintah provinsi baru berwenang menerbitkan IUP, jika koordinat lahan tambang berada di dua kabupaten/kota atau lebih (lintas kabupaten/kota). Begitu pula Menteri (Pemerintah Pusat) baru berwenang menerbitkan IUP jika koordinat tambang berada di dua provinsi atau lebih (lintas provinsi).
Terkait dengan carut marut IUP yang jumlahnya ribuan namun sebagian besar tidak Clear and Clean, menurut Abrar kelemahan sebenarnya dari sisi koordinasi dan pengawasan. Semua itu sudah diatur dalam UU Minerba, namun belum dilaksanakan secara efektif hingga saat ini.
Dalam UU Minerba disyaratkan, sebelum menerbitkan IUP, kabupaten/kota harus berkonsultasi dengan provinsi. Demikian pula provinsi, sebelum menerbitkan IUP harus berkonsultasi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebaliknya, ketika provinsi akan menerbitkan IUP, harus berkoordinasi dulu dengan kabupaten/kota. Menteri ESDM pun sebelum menerbitkan IUP harus berkoordinasi dengan gubernur, yang dilanjutkan oleh gubernur dengan koordinasi ke bupati/walikota.
“Konsultasi ke atas dan koordinasi ke bawah dalam penerbitan IUP inilah yang harus diefektifkan. Karena dalam konsultasi dan koordinasi itulah berlangsung fungsi pengawasan. Tidak boleh bupati atau gubernur mengeluarkan IUP tanpa persetujuan Menteri, begitu pula sebaliknya,” tandas Abrar.
Abrar pun mengungkapkan, rencana presiden menarik kewenangan menerbitkan IUP ke provinsi, cukup melukai perasaan para bupati dan walikota. Meski belum merespon secara terbuka, namun di daerah telah terjadi kasak-kusuk penolakan. Jika dilanjutkan rencana presiden itu, bukan tidak mungkin muncul bibit-bibit baru disintegrasi.
Rencana presiden itu pun, lanjutnya, bertentangan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Menurut UU ini, pengelolaan sumber daya alam termasuk pertambangan, merupakan wewenang yang bisa dilaksanakan daerah.
“Bupati kan yang paling tahu tentang sumber daya alamnya, dan kebutuhan rakyatnya. Dalam pengelolaan pertambangan, masyarakat yang dekat dengan sumber daya alam, harus lebih dulu sejahtera daripada masyarakat yang jauh dari sumber daya alam,” jelasnya.
Abrar mengakui, memang banyak bupati/walikota yang bandel, menerbitkan IUP sesuka hatinya tanpa memenuhi syarat-syarat. Tetapi, banyak juga bupati/walikota yang tertib, menyampaikan pelaporan secara berkala, dan menerbitkan IUP secara bertanggung jawab. “Jadi jangan dipukul rata,” pungkasnya. (abraham lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)
Komentar Terbaru