JAKARTA – Pasca penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM dengan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada 2014 mengenai Program Pengembangan Bioenergi Berbasis Hutan Energi, hingga saat ini tercatat 13 unit usaha yang telah mengalokasikan penanaman untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) dan 18 unit usaha kehutanan yang berkomitmen untuk mengembangkan bioenergi, dengan luas potensi total mencapai 1,29 juta hektare.
Sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah berkomitmen pengembangan energi baru terbarukan (EBT) menjadi prioritas nasional, termasuk pengembangan bioenergi berbasis hutan energi. Program pengembangan bioenergi berbasis hutan energi merupakan upaya pencadangan kawasan hutan produksi yang khusus diperuntukan untuk pembangunan hutan energi sebagai sumber bahan baku bioenergi.
“Di sisi hilir, Kementerian ESDM mendukung pemanfaatan Hutan Energi melalui program PLTBm dan cofiring biomassa pada PLTU, dimana untuk saat ini diprioritaskan bagi PLTU milik PT PLN (Persero),” ungkap Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi, Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, kepada Dunia Energi, Kamis(12/11).
Feby mengatakan, berdasarkan perhitungan potensi biomassa atas Hutan Tanaman Industri (HTI) yang berada di sekitar lokasi PLTU seluas 17,94 juta hektare, jumlah biomassa yang dihasilkan jauh lebih besar dari jumlah biomassa yang dibutuhkan untuk program co-firing.
“Dengan mendedikasikan sekian luasan HTI untuk hutan energi, maka kelangsungan pasokan biomassa untuk program cofiring dapat terpenuhi, tentu dengan didukung oleh rantai pasok yang efisien dan keekonomian yang adil,” ungkap Feby.
Dia menambahkan, di sisi hulu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendukung pengembangan HTE dengan menerbitkan diantaranya Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor P.62/2019, Permen LHK, Nomor P.11/2020, dan Permen LHK Nomor P.1/2019 dengan pokok-pokok dukungan di antaranya, pertama Hutan Tanaman Industri (HTI) diarahkan untuk mendukung bahan baku industri yang dikelompokan menjadi serat kertas dan rayon; pertukangan; bioenergi.
Lebih lanjut, kata Feby, HTI yang mengusahakan bioenergi berbasis kayu tanaman dengan daur pendek kurang dari lima tahun dan dari tanaman budidaya tahunan berkayu dapat diberikan izin usaha industri hasil hutan kayu pada areal kerjanya berupa industri serpih kayu , wood pellet, arang kayu , biofuel, dan biogas. Untuk menjadi HTE, HTI tidak memerlukan izin baru, melainkan hanya perlu merubah RKU.
“Selain itu dukungan KLHK dari sisi hulu, adalah dengan mendorong integrasi antara HTI dan HTR yang dapat diarahkan untuk pemenuhan bahan baku bioenergi,” tandas Feby.(RA)
Cofiring biomassa dengan batubara untuk PLTU kalau bisa segera direalisasikan. Pada saat ini, dalam kebijakan energi nasioanal masih mengandalkan batubara. Dengan adanya cofirng program ini, maka kebutuhan batubara di seluruh PLTU milik PLN akan turun dan batubara yg dihemat dari program cofiring ini bisa didiversifikasikan menjadi energi baru untuk mensubstitusi impor LPG dan produk- produk turunan yg lain.