JAKARTA – Pemerintah menegaskan penyediaan tenaga listrik yang ramah lingkungan tetap menjadi dasar dalam memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Penyediaan energi bersih dapat dilihat dari emisi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbasis fosil. Salah satu indikatornya mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Termal.
Wanhar, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan sejak tahun 2019 Kementerian LHK memperketat baku mutu emisi dengan nilai konsentrasi parameter SO2 dan NOx sebesar 200 mg/Nm3 , konsentrasi parameter PM sebesar 50 mg/Nm3 dan konsentrasi Hg sebesar 0,03 mg/Nm3.
“Indonesia terus berupaya untuk menerapkan baku mutu emisi yang lebih baik agar dapat bersaing dengan negara-negara yang sudah menerapkan baku mutu emisi (parameter SO2, NOx, Partikulat dan Merkuri (Hg)) untuk PLTU yang lebih ketat seperti China, Amerika Serikat dan Jepang,” jelas Wanhar dalam keterangannya (4/9).
Beberapa waktu ini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi salah satu sektor yang disorot terkait dengan semakin parahnya polusi udara yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Edwin Nugraha Putra, Direktur Utama PLN Indonesia Power, mengungkapkan PT PLN (Persero) berkomitmen untuk selalu menjaga emisi PLTU sesuai dengan regulasi. “PLN telah menetapkan standar pemasangan ESP pada setiap PLTU sehingga emisi yang dikeluarkan oleh PLTU selalu aman dan berada dibawah ambang batas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sesuai Permen LHK no. 15 tahun 2019, ambang batas partikulat adalah 100 mg/m3, sedangkan hasil pengukuran partikulat di Suralaya di bawah 60 mg/m3” ungkap Edwin.
PLTU Suralaya merupakan salah satu PLTU terbesar di Indonesia yang menghasilkan listrik mencapai 3.400 MW dan memproduksi sekitar 50% dari total produksi PT Indonesia Power serta berkontribusi sekitar 18% dari energi listrik kebutuhan Jawa-Bali. Dengan transmisi sebesar 500 kV, pembangkit tersebut mengonsumsi batubara kurang lebih 35.000 ton per hari.
Sementara itu, Puji Lestari, Guru Besar Teknik Lingkungan ITB, Prof yang telah melakukan kajian dampak kegiatan PLTU PT PLN Indonesia Power terhadap potensi polutan lintas batas dengan model dispersi pada tanggal 1-22 Agustus 2023 menyampaikan bahwa PLTU Suralaya sudah memenuhi aturan yang ditetapkan pemerintah, terutama dalam mengelola emisi yang dihasilkan.
“Kesimpulan yang kami dapat dalam kajian tersebut antara lain, terdapat transboundary Air Polutant (polutan Lintas Batas) terutama pada musim penghujan namun pada konsentrasi yang relatif kecil pada Jakarta, dimana pada musim kemarau tidak terjadi transboundary kearah Jakarta, konsentrasi polutan pada bulan agustus 2023 cenderung kecil dan tidak terjadi transboundary ke arah Jakarta baik untuk polutan PM2.5; NOx dan SO2,” jelas Puji.
Komentar Terbaru