MATARAM– PT PLN Indonesia Power, melalui Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) PLTU Jeranjang di Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, terus meningkatkan penggunaan teknologi co-firing biomassa sebagai bagian dari langkah mendukung target nasional net zero emission (NZE) 2060. Saat ini, persentase penggunaan biomassa di PLTU Jeranjang mencapai 7 persen dan direncanakan akan meningkat hingga 14 persen pada tahun depan.

Yunisetya Ariwibawa, Manajer PLN IP Unit Bisnis Pembangkitan Jeranjang, menjelaskan co-firing biomassa pertama kali diuji coba pada 2019 dengan metode RDF (refuse derived fuel). Berbagai jenis biomassa seperti SRF (solid recovered fuel), pelet sampah, woodchip, dan serbuk gergaji kini digunakan untuk memperluas substitusi batu bara. Langkah ini bertujuan untuk mendukung bauran energi nasional sebesar 23 persen energi terbarukan pada 2025.

“PLTU Jeranjang, yang memasok 20 persen kebutuhan listrik Pulau Lombok dengan kapasitas terpasang 3×25 MW, juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon serta peningkatan ekonomi lokal melalui pembukaan lapangan kerja baru,” ujar Yunisetya di Mataram, Kamis (5/9/2024).

PLTU Jeranjang yang mempunyai kapasitas terpasang 3×25 megawatt (MW), saat ini merupakan salah satu pembangkit utama (backbone) dari sistem kelistrikan di Pulau Lombok. Yunisetya menyebutkan teknologi co-firing biomassa di PLTU Jeranjang mulai dilakukan uji bakar pada 2019 dengan metode RDF (refuse derived fuel).

Di tahun-tahun berikutnya hingga 2024 ini, penggunaan jenis biomassa digenjot dalam rangka mendukung program net zero emission (NZE) pemerintah pada 2060 dan target bauran energi nasional dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025.

Menurut dia, biomassa yang digunakan untuk co-firng di PLTU Jeranjang kini diperbanyak jenisnya, termasuk dengan memakai SRFatau pelet sampah, pelet kayu (woodchip) dan serbuk gergaji (sawdust).

“Selama kurang lebih lima tahun implementasi teknologi co-firing di PLTU Jeranjang, PLN IP juga mencatat ada peningkatan pendapatan ketika terjadi penambahan persentase co-firing,” katanya.

Apabila diskemakan menggunakan asumsi kontrak PJBTL Subholding, terdapat penambahan pendapatan sebesar Rp45,33 miliar ketika terjadi penambahan co-firing sebesar 5 persen dan terdapat pula keuntungan dari selisih dari harga biomassa dan batu bara.

Ribut Handoo, Asisten Manager Energi Primer PLTU Jeranjang, mengatakan dengan menaikkan persentase co-firing dan menyelesaikan kendala-kendala operasionalnya, perusahaan dapat meningkatkan pendapatan dan mendukung program NZE. “Tak hanya itu, keberlanjutan (sustainability) PLTU Jeranjang pun semakin meningkat, sekaligus mengimplementasikan visi misi perusahaan,” ujar Ribut.

Tak hanya itu, lanjut Ribut, terdapat benefit sosial, seperti meningkatkan keekonomian rakyat, membuka lapangan kerja baru, pemanfaatan lahan kering untuk hutan energi dan menurunkan emisi karbon CO2 (dekarbonisasi).

Ganis Nugraheni Purnamawati, Manajer Stakeholder Management and Investor Relation PT PLN Indonesia Power, mengatakan untuk mengejar target bauran EBT 23 persen pada 2025, pihaknya melakukan akselerasi proyek-proyek EBT d Indonesia seperti pembangkit surya (PLTS), mikro hidro, dan pembangkit angin (bayu).

“Selain itu, penerapan co-firing di pembangkit batu bara juga digenjot dengan menggunakan berbagai jenis biomassa seperti woodchip, sawdust, pelet sampah dan limbah uang kertas, seperti yang diterapkan di PLTU Jeranjang Lombok,” katanya.

Kapasitas terpasang sistem kelistrikan Pulau Lombok saat ini mencapai 360 MW, dengan beban puncaknya mencapai 320 MW.

Selain dari PLTU Jeranjang 75 MW, sistem kelistrikan Lombok juga dipasok dari PLTGMU Lombok Peaker 150 MW, PLTU IPP (swasta) 50 MW dan sisanya dari PLTS dan pembangkit diesel. (DR)