JAKARTA – PT PLN (Persero) mendapatkan pinjaman kredit sindikasi mencapai Rp16,75 triliun, yang terdiri dari skema konvensional sebesar Rp13,25 triliun dan skema syariah sebesar Rp3,5 triliun dengan jangka waktu 10 tahun.
Dalam pelaksanaan perjanjian pendanaan investasi tersebut, PLN tidak hanya menggunakan skema konvensional melainkan juga skema syariah (pembiayaan musyarakah). Sindikasi perbankan kali ini terdiri dari Bank BRI, Mandiri, BCA, CIMB Niaga, SMI, BNI Syariah dan BCA Syariah.
Sarwono Sudarto Direktur Keuangan PLN, mengatakan dana dari sindikasi perbankan digunakan PLN untuk modal membangun gardu induk dan transmisi dalam rangka mendukung program 35 Gigawatt (GW).
“Selain cost of fund pinjaman yang kompetitif, pendanaan sindikasi ini juga meningkatkan portofolio rupiah pada pinjaman PLN serta menunjukkan dukungan perbankan nasional dalam mendanai pembangunan infrastruktur kelistrikan tanah air,” kata Sarwono, Selasa (23/4)
Pendanaan kali ini tidak lepas dari kemampuan PLN dalam mempertahankan tarif listrik tidak naik dan menjaga kondisi keunganan perusahaan tetap sehat.
Menurut Sarwono, kucuran dana membuktikan bahwa PLN serta Lembaga Keuangan Bank dan non-Bank Syariah sangat mendukung perkembangan ekonomi syariah, termasuk pendanaan skema syariah untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Saat ini PLN, kata dia, terus berupaya meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk mendapatkan listrik dan melakukan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, diwaktu yang sama PLN juga melakukan efisiensi interal.
Hasil dari program-program investasi yang telah dilakukan PLN dari tahun ke tahun memberikan perkembangan yang cukup signifikan bagi kondisi kelistrikan di Indonesia.
Berdasarkan Laporan Ease of Doing Business (EoDB) World Bank , indikator Getting Electricity atau kemudahan mendapatkan listrik peringkat Indonesia di antara 190 negara yang disurvei semakin membaik, yaitu peringkat 33 pada 2019 yang sebelumnya 38 di tahun 2018, dan di peringkat 49 pada tahun 2017.
“Hal ini membuktikan bahwa PLN terus berusaha memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan iklim investasi atas infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia,” ujar Sarwono dalam keterangan tertulisnya.
Sarwono menambahkan pekerjaan PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik masih panjang dengan penyediaan berbagai fasilitas penunjang listrik.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik 10 (sepuluh) tahun ke depan, PLN telah merencanakan pembangunan infrastruktur penyediaan tenaga listrik di antaranya: total pembangkit tenaga listrik sebesar 56.395 MW, total jaringan transmisi sepanjang 57.293 kms, total gardu induk sebesar 124.341 MVA, total jaringan distribusi sepanjang 472.795 kms, dan total gardu distribusi sebesar 33.730 MVA.
“Oleh karena itu, kami akan selalu membuka kerja sama dengan Lembaga Keuangan Bank maupun non-Bank untuk penyediaan dana pembangunan infrastruktur kelistrikan. Kerja sama yang berjalan dengan baik ini, akan semakin meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan investasi di Indonesia, dengan ketersediaan listrik yang semakin handal,” kata Sarwono.
Kebutuhan dana yang besar memang sangat diperlukan PLN dalam menjalankan kegiatan operasional. Pendanaan eksternal memang sudah direncanakan perusahaan. Kebutuhan investasi PLN memang besar. Sarwono menjelaskan pada tahun ini kebutuhannya bisa sampai Rp90 triliun
Pada tahun lalu, pemain utama penyalur tenaga listrik di Indonesia itu telah menerbitkan global bond senilai US$2 miliar. Obligasi tersebut diterbitkan dalam dua tenor, sebesar US$1 miliar dengan teror 10 tahun dan US$1 miliar dengan tenor 30 tahun. Serta tingkat bunga masing-masing sebesar 5,45% dan 6,15%. Saat itu global bond mengalami oversubscribe sekitar 3,65 kali.
Tujuan penerbitan global bond kala itu adalah untuk proses liability management dan sekaligus debt reprofiling. Dana hasil penerbitan obligasi sebesar US$1 miliar digunakan untuk membeli kembali (buy back) atau melunasi secara dini beberapa global bond PLN yang jatuh tempo (penerbitan 2007 dan 2009 yang akan jatuh tempo pada Agustus 2019, Januari 2020 dan Juni 2037.(RI)
Komentar Terbaru