JAKARTA – PT PLN (Persero) dinilai harus segera merevisi strategi pembangunan proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) seiring beban keuangan yang makin besar, hingga berisiko gagal bayar (default). Apalagi pertumbuhan penjualan listrik sebagai andalan pendapatan PLN terus menurun, sementara beban investasi dan biaya operasional terus meningkat.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan melalui revisi strategi, kebutuhan investasi proyek 35 ribu MW yang seharusnya diimplementasikan pada 2019 tidak sebesar yang diperkirakan semula. Apalagi jika ditelisik sejak awal ketika dimulai pada 2014 pertumbuhan ekonomi yang diasumsi sebesar tujuh persen tapi begitu dieksekusi pada 2015 pertumbuhan ekonomi tidak mencapai tujuh persen. Begitu juga pada 2016.
Pertumbuhan penjualan listrik juga di bawah estimasi yang diperkirakan bisa delapan persen, kenyataannya hanya tumbuh kira-kira sekitar empat persen, maka kemudian asumsi nya proyek 35 ribu MW perlu segera diperbaiki.
“Dengan adanya perbaikan asumsi 35 ribu MW, sebenarnya kebutuhan untuk investasi proyek tersebut yang harus dideliver sampai 2019 kan tidak sebesar yang diperkirakan semula,” kata Fabby kepada Dunia Energi di Jakarta, Rabu (27/9).
Menurut Fabby, dalam jangka pendek, pendapatan PLN tidak meningkat signifikan apalagi permintaan listriknya hanya tumbuh sekitar dua persen di semester pertama tahun ini.
“Padahal ekspektasinya tumbuh delapan persen,” kata dia.
Kondisi PLN makin terbebani karena surat-surat hutang PLN yang dibuat sejak 2006-2008, mulai jatuh tempo.
“Nah, ada ketentuan di sisi pasar keuangan internasional, ini kan PLN ada rasio utang yang harus dipenuhi. Kalau misalnya sekarang dia menghadapi kondisi beban finansial naik karena harga energi primer naik dan beban utang banyak, itu akan menimbulkan beban terlalu besar bagi keuangan PLN yang tahun berjalan maupun tahun depan. Apalagi pemerintah tetapkan tidak ada kenaikan tarif listrik” ungkap Fabby.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam suratnya kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyoroti kondisi keuangan PLN yang berisiko gagal bayar berbagai pinjaman yang dilakukan perusahaan. Surat bernomor S-781/MK.08/2017 per tanggal 19 September 2017 tersebut menyoroti semakin besarnya kewajiban keuangan PLN untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang tidak didukung dengan pertumbuhan kas bersih operasi.
Hal ini menyebabkan dalam tiga tahun terakhir, Kementerian Keuangan harus mengajukan permintaan waiver kepada lender PLN, sebagai dampak terlanggarnya kewajiban pemenuhan convenant PLN dalam perjanjian pinjaman untuk menghindari cross default atas pinjaman PLN yang mendapatkan jaminan pemerintah.
“Terbatasnya internal fund PLN untuk melakukan investasi dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah berdampak pada bergantungnya pemenuhan kebutuhan investasi PLN dari pinjaman, baik melalui pinjaman kredit investasi perbankan, penerbitan obligasi, maupun pinjaman dari Lembaga Keuangan Internasional,” kata Sri Mulyani dalam surat tersebut.
Berdasarkan profil jatuh tempo pinjaman PLN, Kementerian Keuangan memperkirakan kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PT PLN diproyeksikan terus meningkat di beberapa tahun mendatang. Sementara itu, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai target dan adanya kebijakan pemerintah untuk meniadakan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dapat berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.
Dengan mempertimbangkan bahwa sumber penerimaan utama PLN berasal dari TTL yang dibayarkan pelanggan dan subsidi listrik dari pemerintah, Menteri Keuangan menilai bahwa kebijakan peniadaan kenaikan TTL perlu didukung dengan adanya regulasi yang mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik.
Terkait dengan penugasan 35 gigawatt (GW), Sri Mulyani berpendapat bahwa perlu dilakukan penyesuaian target penyelesaian investasi PLN dengan mempertimbangkan ketidakmampuan PLN dalam memenuhi pendanaan investasi dari cashflow operasi, dan tingginya outlook debt maturity profile. Serta kebijakan pemerintah terkait tarif, subsidi listrik, dan penyertaan modal negara (PMN).
“Hal ini diperlukan untuk menjaga sustainabilitas fiskal APBN dan kondisi keuangan PLN yang merupakan salah satu sumber risiko fiskal pemerintah,” kata Sri Mulyani.(RI)
Komentar Terbaru