JAKARTA – PT Pertamina Hulu Energi (PHE) mendukung kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pengurangan emisi karbon pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di dalam maupun di luar negeri. Tiga strategi transisi energi disiapkan PHE demi menyokong target karbon netral pada 2060.
Pertama, mendorong pengembangan gas yang lebih rendah emisi. Kedua, menjalankan program dekarbonisasi dengan menekan konsumsi energi melalui penggunaan pembangkit listrik rendah karbon. Ketiga, melakukan monetisasi potensi Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
Budiman Parhusip, Direktur Utama PHE, mengungkapkan permintaan energi termasuk migas terus meningkat rata-rata peningkatannya mencapai 2,1% per tahun. Gas akan memainkan peran penting dalam periode transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT). PHE mempunyai beberapa proyek gas, antara lain proyek Jambaran Tiung Biru (JTB), proyek di Mahakam, Sangasanga, dan area lain di Indonesia.
“Sebagai komitmen pada energi hijau, kami telah mengembangkan solar panel berkapasitas 25 MW di Blok Rokan. Penggunaan solar panel dalam kegiatan operasi di Blok Rokan adalah implementasi kami pada low carbon power,” ujar Budiman saat berbicara pada The 46th IPA Convention and Exhibition 2022 dengan tema “The Role and Commercialization of CCS/CCUS in Meeting Indonesia’s Net Zero Target” di Jakarta Convention Center, Kamis (22/9/2022). Tampil juga sebagai pembicara pada sesi tersebut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji; Tracy Lothian, Vice President, Asia Pacific, Low Carbon Solutions, ExxonMobil; dan Vice President of Japan External Trade Organization (JETRO) Matsuda Akihisa.
Budiman mengatakan sebagai perusaahaan migas nasional, Pertamina memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Peningkatan produksi migas menjadi prioritas perusahaan. Ini tentu menyebabkan peningkatan emisi yang dihasilkan dari kegiatan eksplorasi dan produksi migas. “Untuk itu langkah nyata diperlukan untuk menekan emisi tersebut. Salah satunya adalah dengan implementasi CCS/CCUS,” katanya.
Pertamina, lanjut Budiman, memberikan perhatian khusus terhadap penerapan teknologi CCS/CCUS. Saat ini ada empat proyek CCS/CCUS yang memasuki tahap final study yang dikerjasamakan dengan para mitra, di antaranya CO2 EOR Ramba dengan CO2 dari Blok Corridor yang ditargetkan bisa onstream pada 2030. Lalu ada CO2 huff and puff Jatibarang dengan CO2 dari Subang dan ditargetkan onstream akhir 2022. Ada juga CCUS CO2 EOR Gundih yang ditargetkan onstream 2026 dengan pengurangan emisi 3 juta ton CO2 untuk 10 tahun. Kemudian ada juga CCUS CO2 EOR di Sukowati yang ditargetkan onstream 2031.
“Kami bekerja bersama mitra untuk mengimplementasikan CCUS. Ini bisnis potensial. Kami sedang evaluasi bersama partner,” ungkap Budiman.
Tutuka Ariadji mengakui bahwa Pertamina menjadi salah satu perusahaan paling aktif menerapkan CCS/CCUS. Sedikitnya ada sekitar 15 studi penerapan CCS/CCUS dan 80% di antaranya dikerjakan Pertamina.
Menurut Tutuka, penerapan teknologi CCS/CCUS sangat mendesak dengan adanya target penurunan emisi. Di sisi lain pemerintah juga berupaya meningkatkan produksi migas. “Untuk itu pemerintah tengah menyusun regulasi untuk memayungi kegiatan carbon capture,” ujarnya.
Tutuka menjelaskan prioritas awal Peraturan menteri (Permen) nantinya mengatur injeksi CO2 untuk kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Enhanced Gas Recovery (EGR). “Kami fokus dulu untuk kegiatan EOR dan EGR. Permen ini nantinya terbuka untuk kolaborasi internasional,” ungkap Tutuka.
Komentar Terbaru