JAKARTA – Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) menegaskan rencana penyesuaian harga gas untuk pelanggan industri oleh PGN sudah dikaji secara matang dengan memperhitungkan banyak aspek. PGN juga sudah memperhitungkan kemampuan konsumen industri.
Rachmat Hutama, Sekretaris Perusahaan PGN, mengatakan hingga saat ini, sebagai subholding gas bumi, PGN telah membangun jaringan gas hingga lebih dari 10 ribu kilometer (km). Semakin panjang jaringan pipa yang dikelola oleh suatu badan usaha, maka biaya pengelolaan dan perawatannya menjadi besar.
“Setiap tahun biaya dua komponen itu juga terus naik,” ujar Rachmat, Jumat (27/9).
Dia menegaskan bahwa gas bumi masih menjadi salah satu sumber energi yang paling efisien di Indonesia. Di kawasan Asia, harga gas yang disalurkan PGN juga masih sangat kompetitif. Kecuali jika dibandingkan dengan harga gas di Malaysia yang mendapatkan subsidi dari pemerintah negara itu.
Berdasarkan data sejumlah lembaga energi terkemuka seperti Woodmack (2018) dan Morgan Stanley (2016), harga gas bumi kepada sektor industri di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan harga di Singapura dan China. Di Singapura konsumen industrinya membeli gas berkisar US$12,5-US$14,5 per MMBTU. Bahkan, industri di China harus membayar lebih mahal lagi yaitu mencapai US$15 per MMBTU.
“PGN menjual gas kepada pelanggan akhir berkisar antara US$8-US$10 per MMBTU. Harga itu terbentuk dari berbagai sumber baik gas sumur maupun LNG yang harganya jauh lebih tinggi,” ujarnya.
Menurut Rachmat, sejak 2013 PGN tidak pernah menaikkan harga gas kepada konsumen industri. Disisi lain, biaya pengadaan gas, biaya operasional dan kurs dolar Amerika Serikat terus meningkat. Secara akumulasi, sejak 2013 hingga saat ini kurs dolar AS telah mengalami kenaikan hingga 50%. Dan biaya pengadaan gas selama ini menggunakan patokan dolar AS.
“Dengan beban biaya yang terus meningkat tentunya ruang bagi PGN untuk mengembangkan infrastruktur gas bumi menjadi makin terbatas. Sementara banyak sentra-sentra industri baru, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang belum terjamah gas bumi,” jelas Rachmat.
PGN juga mengklaim biaya pengelolaan kegiatan hilir Indonesia masih bersaing dibanding negara-negara di Asia Tenggara. Rentang biaya distribusi dan niaga di Indonesia berkisar US$2,8-US$4 per MMBTU. Bandingkan dengan negara Malaysia, Singapura, Thailand dengan rentang biaya hilir sebesar US$2,8–US$3 per MMBTU dengan panjang pipa setengah dari yang dimiliki Indonesia dengan segala tantangan wilayah geografis yang didominasi kepulauan.
PGN selama ini juga telah mengambil banyak risiko. Baik risiko pasokan maupun pasar yang cenderung fluktuatif dan tidak pasti. Sebagai agregator, untuk memastikan ketersediaan gas, PGN juga telah membangun terminal LNG di beberapa lokasi untuk meregasifikasi LNG yang berasal dari berbagai sumber.
“Perluasan pemanfaatan gas bumi merupakan tanggung jawab bersama. Apalagi kita punya tanggungjawab bersama untuk menjaga ketahanan energi nasional dan melayani kebutuhan gas bumi secara berkeadilan,” kata Rachmat.
PGN per Oktober 2019 berencana meningkatkan pelayanan pemeliharaan fasilitas gas. Seiring peningkatan layanan, PGN juga menaikkan harga gas. Namun rencana ini sontak ditolak industri yang menjadi konsumen gas PGN. Bahkan, industri yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengancam tidak akan membayar selisih dari kenaikan harga gas PGN.
Johnny Darmawan, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, mengungkapkan salah satu niat baik pemerintah yang belum bisa ditunaikan secara tuntas hingga saat ini adalah penurunan harga gas industri. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 yang ditetapkan Mei 2016 tentang penetapan harga gas bumi sebesar US$6 per MMBTU mengatur agar harga gas bagi tujuh sektor industri, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet ditetapkan menjadi US$6 per MMBTU. Sampai saat ini beleid tersebut hanya diimplementasikan pada perusahaan BUMN sektor industri pupuk, baja dan pupuk majemuk.
“Perusahaan swasta di sektor industri petrokimia pengolah migas, keramik, kaca, baja, oleokimia, pulp & Kertas serta makanan dan minuman sampai saat ini belum mendapatkan penurunan harga gas,” ujar Johnny.(RI)
Komentar Terbaru