JAKARTA – Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience/LTS-LCCR)) 2050.

Meski terdapat kemajuan yang positif, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target Persetujuan Paris.

Pemerintah diketahui akan mendorong sejumlah aksi untuk penurunan emisi, yaitu penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU), penggunaan bahan bakar nabati, implementasi coiring biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU, pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030, erta transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

IESR menanggapi positif mengenai target peak emission pada 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia.

“Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission pada 2030,” kata Lisa Wijayani Program Manajer Ekonomi Hijau IESR, Kamis (25/3).

Pencapaian net zero emission pada 2070 dinilai terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50 C, maka emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada 2050.

Selain itu, perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada 2030.

Deon Arinaldo, Program Manajer Transformasi Energi IESR, menyampaikan bahwa setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonization Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa menjadi acuan dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK denganntarget Persetujuan Paris. IESR mendukung penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) berkelanjutan dan kendaraan listrik. Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa BBN berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan.

“Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada 2050,” kata Dion.(RA)