JAKARTA — Data ini harus jadi perhatian semua pihak yang peduli dengan pengelolaan tambang yang baik. Sebanyak 27 dari total 108 perusahaan tambang mineral dan batubara (minerba) belum menyampaikan data pembayaran perusahaan untuk melengkapi laporan Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) tahun 2012-2013. Selain itu, terdapat 11 dari 174 perusahaan di sektor minyak dan gas (migas) yang juga belum melengkapi laporan EITI.
Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah mengatakan perusahaan tambang dan migas yang belum lapor EITI berpotensi menjadi preseden buruk bagi transparansi dan tata kelola industri esktraktif di Indonesia. Dia menyayangkan sikap perusahaan yang tidak mengirimkan laporan EITI di tengah upaya pemerintah untuk mengembalikan status keanggotan EITI Indonesia yang tertahan (suspended).
“Status suspended ini berlaku sejak 26 Februari 2015 karena Indonesia terlambat mengeluarkan laporan EITI periode 2012-2013. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen dan keseriusan perusahaan-perusahaan tersebut untuk berlaku transparan,” kata dia dalam siaran persnya, Rabu.
Menurut dia, perusahaan tambang minerba yang belum melapor terdiri dari 1 perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK), 9 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral, 2 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 15 IUP batubara.
Yenni Soetjipto, Perwakilan Masyarakat Sipil dalam Tim Pelaksana EITI Indonesia, mendesak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang enggan lapor EITI. “Keengganan perusahaan untuk lapor EITI seharusnya menjadi alat evaluasi pemerintah terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan ini,” ujarnya.
Dia menjelaskan, pelaksanaan EITI Indonesia merupakan salah satu aksi yang diamanatkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, sehingga keengganan perusahaan melapor EITI bisa diartikan perlawanan terhadap upaya gerakan anti korupsi.
Dia berharap ke-38 perusahaan yang belum melaporkan diharapkan dapat segera mengirimkan laporan paling lambat pada 5 Oktober.
EITI merupakan standar internasional dalam pelaporan penerimaan negara dari industri ekstraktif yang prosesnya melibatkan multipihak yang terdiri atas pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil dan telah diterapkan di 46 negara. Pelaksanaan EITI di Indonesia berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif.
Pemilihan perusahaan-perusahaan ekstraktif yang tercakup dalam laporan EITI dibuat berdasarkan besaran total yang disumbangkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut terhadap total penerimaan negara yang berasal dari sektor ekstraktif.
Untuk sektor migas, seluruh perusahaan yang telah berproduksi masuk dalam cakupan laporan ini. Sedangkan untuk sektor pertambangan, perusahaan-perusahaan yang masuk dalam cakupan laporan ini adalah kombinasi dari perusahaan-perusahaan yang telah menyumbang 80% dari penerimaan pajak penghasilan badan dari sektor minerba dan membayar royalti ke negara dengan besaran di atas Rp25 miliar, dimana perusahaan-perusahaan tersebut menyumbang sebesar 81,67% dan 84,65% atas penerimaan negara dari royalti di 2012 dan 2013.(AF)
Komentar Terbaru