JAKARTA – Pandemi global Covid-19 yang terjadi saat ini berdampak signifikan ke seluruh sektor. Tidak luput dari dampak pandemi, seluruh sesi negosiasi United Nations Framework Climate Change Conference (UNFCCC) ditunda menjadi 2021, termasuk forum negosiasi perubahan iklim di tingkat ASEAN.
Dengan berlakunya Paris Agreement pada 2016, maka seluruh dunia ditantang untuk dapat membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2°C dan menuju emisi netto yang nol (net-zero emission) sebelum pertengahan abad ini. International Energy Agency (IEA) memperkirakan untuk dapat mencapai target 2°C maka sebanyak 1.520 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit berbasis fosil di seluruh dunia, dimana 1.285 GW adalah PLTU batu bara harus ditutup sebelum 2040.
Indonesia merupakan salah satu negara pendukung Paris Agreement dan telah meratifikasinya melalui Undang – Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 dan telah menetapkan Natlonally Determined Contribution (NDC) yang menetapkan sasaran penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan tambahan 12% dengan dukungan intenasional, sehingga menjadi 41% pada 2030. Dengan ratifikasi ini Indonesia harus ikut serta dalam upaya global mengurangi laju emisi GRK, khususnya dari sektor energi.
Sektor energi ditargetkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memainkan peran koordinasi, pemantauan, dan pengawasan dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC).
“KLHK terus melakukan koordinasi terkait perundingan perubahan iklim, baik di tingkat internasional maupun nasional. Saat ini proses finalisasi serta penyelesaian peta jalan NDC terus dipersiapkan dengan rinci. KLHK akan submit update NDC ke United Nations Framework Climate Change Conference (UNFCCC) segera setelah mendapat persetujuan Presiden,” ungkap Wahju Warjaka, Direktur Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional KLHK, dalam media briefing, Jumat (11/9).
Upaya Indonesia untuk menurunkan emisi tertuang dalam Dokumen NDC sebagai tindak lanjut Paris Agreement.
Dalam NDC disebutkan bahwa penurunan emisi di Indonesia berfokus pada lima sektor, yaitu sektor energi, industri, kehutanan, pertanian dan limbah.
Sudah banyak inisiatif iklim lainnya dilakukan oleh pemangku kepentingan non-pihak (non-party) di berbagai sektor dan tingkatan pemerintahan, termasuk kota dan kabupaten. Pemerintah Indonesia juga melakukan koordinasi implementasi NDC di berbagai tingkatan pemerintahan dan sektor melalui berbagai peraturan yang memungkinkan koordinasi dan sinergi.
Berbagai kebijakan dan tindakan terkait perubahan iklim juga telah berjalan seperti pendanaan anggaran nasional (budget tagging), penggunaan Dana Desa untuk mendukung Program Kampung Iklim (PROKLIM) dan aksi iklim yang dilakukan oleh kota dan kabupaten.
Dukungan Norwegia melalui agenda REDD+ dan proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) di Kalimantan Timur yang didukung oleh Bank Dunia merupakan contoh-contoh sinergi yang baik antara pemerintah nasional dan sub nasional, termasuk kabupaten dan kota serta masyarakat untuk melaksanakan Perjanjian Paris. Pada tahun 2019, subyek perubahan iklim dan manajemen bencana telah ditetapkan sebagai arus utama dalam rencana pembangunan nasional (RKP) tahunan.
“Kami (KLHK) saat ini dalam tahap persiapan dan identifikasi elemen teknis penyusunan dokumen Indonesia 2050 Vision on Long-Term Climate Strategy (LTS) for Low Carbon and Climate Resilient untuk dlsubmit ke UNFCCC,” tandas Wahju.(RA)
Komentar Terbaru