JAKARTA – Kebijakan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan WIUP Khusus secara prioritas kepada entitas di luar BUMN dan BUMD dinilai tidak sesuai dan tidak sejalan dengan konsep penguasaan negara sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Apalagi UU Minerba dan perubahannya yang berlaku selama ini tetap mempertahankan skema penawaran WIUPK secara prioritas kepada BUMN dan BUMD, namun juga membuka ruang bagi swasta melalui mekanisme lelang.

Irwandy Arif, Chairman Indonesia Mining Institute, mengatakan dalam RUU Minerba terbaru, terdapat perubahan signifikan dengan diperkenalkannya skema penawaran WIUP dan WIUPK secara prioritas kepada organisasi keagamaan, perguruan tinggi, dan UMKM.

“Kebijakan ini berpotensi mengurangi dominasi negara dalam pengelolaan tambang dan menggesernya ke arah liberalisasi pertambangan, bersifat diskriminatif, melemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945,” ujar Irwandy, Jumat (21/2).

Revisi ke-IV Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (18/2). Proses revisi ini tergolong cepat karena hanya berlangsung kurang dari sebulan. Proses pembahasan dimulai di Badan Legislasi pada 20 Januari 2025 dan resmi disahkan pada 18 Februari 2025.

Kebijakan pemberian WIUP dan WIUPK menjadi salah satu topik saat Indonesia Mining Institute dan DeHeng ARKO Law Office menggelar diskusi dengan topik “Perubahan UU Minerba: Urgensi atau Ambisi?” pada Selasa (4/2). Diskusi tersebut dihadiri para stakeholder pertambangan, meliputi praktisi pertambangan, asosiasi, perwakilan pemerintah dan perguruan tinggi.

Pasal 33 UUD 1945 mengandung jiwa dan semangat nasionalisme yang diwujudkan melalui prinsip penguasaan negara yang meliputi lima fungsi, yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Perwujudan penguasaan negara tersebut dalam praktiknya dilakukan dengan cara pengurusan melalui BUMN dan BUMD. Pengelolaan langsung oleh negara melalui BUMN dan BUMD dianggap sebagai mekanisme paling optimal untuk memastikan manfaat ekonomi tetap dalam kendali negara.

Para peserta melihat dari perspektif tata kelola sumber daya alam, kebijakan tersebut dianggap menimbulkan sejumlah risiko. Pemberian izin kepada entitas non-pemerintah berpotensi membuka ruang bagi kepentingan politik serta menggeser kontrol negara menuju liberalisasi.

Selain bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, usulan tersebut juga berisiko menurunkan efektivitas pengelolaan tambang, meningkatkan eksploitasi berlebihan, mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan mengurangi penerimaan negara. Pergeseran dari peran negara sebagai pengelola utama menjadi fasilitator izin bagi entitas swasta atau non-komersial berpotensi melemahkan kedaulatan ekonomi atas sumber daya strategis.

Eva Ermila Djauhari, Senior Partner RAKO Law, mengatakan para stakeholder pertambangan memandang bahwa regulasi pertambangan nasional telah cukup matang, sehingga pelonggaran standar izin bagi entitas non-komersial justru kontraproduktif dan melemahkan tata kelola dan kredibilitas sektor ini.

“Para peserta yang juga adalah tokoh pertambangan melihat bahwa seharusnya, pembentukan kebijakan oleh pemerintah berfokus untuk memastikan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan oleh entitas berkompeten dengan pengawasan ketat, bukan memperluas akses izin tanpa mitigasi risiko,” ungkap Eva.

Para peserta diskusi juga mendorong pemerintah untuk berkaca pada praktik di negara lain. Partisipasi lembaga non-komersial dalam pertambangan lebih berbasis pada investasi pasif daripada operasional langsung, dengan menerapkan standar teknis yang ketat, serta menekankan prinsip keberlanjutan, optimalisasi manfaat ekonomi, dan regulasi ketat untuk meminimalkan dampak sosial dan lingkungan.

Selain itu, proses dan mekanisme penyusunan RUU Minerba dinilai berlangsung dengan cepat dan minim partisipasi publik.

Eva mengatakan proses legislasi yang ideal seharusnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri dan masyarakat sipil, untuk menghasilkan regulasi yang mampu menjawab tantangan sektor pertambangan secara efektif dan komprehensif.

Ia menambahkan keterlibatan publik juga memungkinkan adanya masukan konstruktif yang dapat memperkuat substansi regulasi serta meningkatkan legitimasi kebijakan. “Publikasi rancangan regulasi dan Naskah Akademik secara resmi merupakan langkah penting dalam membangun proses legislasi yang partisipatif, transparan, dan berbasis bukti,” kata Eva.(AT)